Tragedi memilukan yang melanda Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, telah memasuki hari keenam pada Sabtu (4/10/2025), menyisakan duka mendalam dan pencarian tanpa henti. Data terbaru yang dirilis oleh pihak berwenang mencatat bahwa insiden ambruknya bangunan mushola pesantren tersebut telah merenggut nyawa 14 orang, sementara 103 santri berhasil diselamatkan dalam kondisi luka-luka maupun selamat tanpa cedera. Namun, bayang-bayang kegelisahan masih menyelimuti karena 49 santri lainnya hingga kini masih belum ditemukan, diduga kuat tertimbun di bawah tumpukan puing-puing bangunan.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto, menegaskan bahwa pada hari keenam pencarian, upaya evakuasi telah ditingkatkan secara signifikan. Tim SAR gabungan yang terdiri dari BNPB, Basarnas, TNI, Polri, BPBD, serta relawan lokal, kini mulai memasukkan alat berat ke titik-titik reruntuhan yang paling krusial. Penggunaan ekskavator dan alat berat lainnya diharapkan dapat mempercepat proses pemindahan material bangunan yang berat dan padat, membuka akses ke area yang sebelumnya sulit dijangkau. Selain itu, petugas evakuasi juga terus melakukan pemetaan lokasi-lokasi yang diduga kuat menjadi tempat para korban terakhir terlihat atau diperkirakan tertimbun, berdasarkan keterangan saksi mata dan denah bangunan.
"Alat berat sudah masuk ke titik yang runtuh. Sehingga mudah-mudahan per hari ini ini akan lebih banyak lagi yang ditemukan," kata Suharyanto, memberikan sedikit harapan di tengah situasi yang genting. Ia mengakui munculnya desakan dan kegelisahan dari anggota keluarga korban yang setia menanti di lokasi kejadian. Namun, Suharyanto menegaskan bahwa para petugas telah bekerja maksimal dengan standar operasional prosedur yang ketat, mengutamakan keselamatan tim dan efektivitas pencarian. Menurutnya, keluarga inti korban, khususnya orang tua, selalu mendapatkan laporan dan rencana evakuasi yang transparan sejak hari pertama kejadian. "Mungkin ada sedikit masyarakat keluarga yang sebetulnya bukan keluarga inti. Kalau keluarga inti orang tuanya itu sudah dijelaskan sejak hari pertama dan setiap langkah-langkah yang dilakukan oleh tim ini semuanya dikomunikasikan dengan keluarga," tegasnya, mencoba menenangkan pihak-pihak yang mungkin merasa kurang informasi.
Di samping upaya pencarian yang masif, Tim Disaster Victim Identification (DVI) Pusdokkes Mabes Polri menghadapi tantangan besar yang tak kalah rumit dalam mengidentifikasi jenazah yang ditemukan sejak hari keempat pencarian. Proses identifikasi menjadi sangat krusial untuk memberikan kepastian kepada keluarga korban dan menyelesaikan proses pemulihan psikologis mereka. Namun, kendala-kendala teknis dan kondisi korban membuat tugas DVI menjadi sangat berat.
Kombes Pol dr. Wahyu Hidajati, Kabid DVI Kapusdokkes Mabes Polri, menjelaskan beberapa faktor utama yang menghambat proses identifikasi. "Karena usia masih anak-anak, kan belum membuat KTP. Lalu juga karena proses pembusukan, secara visual juga sudah berubah," ujarnya. Mayoritas korban yang berusia di bawah 17 tahun menjadi kendala utama karena mereka belum memiliki data sidik jari yang terdaftar secara resmi di kependudukan. Sidik jari merupakan salah satu metode identifikasi primer yang paling akurat dan cepat. Selain itu, kondisi jenazah yang sudah mulai mengalami pembusukan akibat tertimbun selama beberapa hari di bawah reruntuhan juga menyebabkan perubahan visual yang signifikan, membuat identifikasi secara langsung oleh keluarga menjadi sangat sulit.
Dari sisi struktur gigi, lanjut Wahyu, pertumbuhan gigi anak-anak cenderung serupa, sehingga tidak ditemukan ciri khas atau anomali yang signifikan yang dapat dijadikan pembanding. "Misalnya ada yang copot satu atau apa itu belum ada yang khas dari laporan keluarga, dan yang ditemukan. Jadi untuk dari gigi juga agak kesulitan untuk membandingkan," paparnya. Struktur gigi yang belum matang dan belum banyak mengalami perubahan membuat data ante-mortem (data sebelum kematian) yang dikumpulkan dari keluarga menjadi kurang spesifik untuk perbandingan dengan data post-mortem (data setelah kematian) dari jenazah.
Tantangan lainnya adalah keseragaman pakaian korban. Para santri umumnya mengenakan baju koko dan sarung tanpa tanda khusus, seperti logo sekolah atau aksesoris pribadi yang mencolok. Hal ini mempersulit identifikasi visual oleh keluarga atau tim DVI yang mengandalkan ciri-ciri fisik atau benda yang melekat pada korban.
Lebih lanjut, Wahyu menambahkan, data pembanding dari keluarga korban juga masih minim. Banyak orang tua yang, dalam kondisi syok dan panik, tidak mampu mengingat detail kecil seperti letak tahi lalat, bekas luka, atau tanda lahir anak mereka secara spesifik. "Banyak keluarga yang tidak hafal detail letak tahi lalat anaknya. Meskipun ada yang hafal, tapi sampai sekarang perbandingannya itu belum ketemu gitu. Jadi itulah kondisi saat ini yang menjadi kendala kami," pungkasnya. Kesulitan mendapatkan data ante-mortem yang akurat dan lengkap dari keluarga menjadi salah satu penghambat terbesar dalam mencocokkan ciri-ciri jenazah. Metode identifikasi DNA sebenarnya bisa menjadi harapan terakhir, namun proses ini membutuhkan waktu yang tidak singkat dan biaya yang tidak sedikit, sehingga biasanya digunakan sebagai langkah terakhir jika metode lain tidak membuahkan hasil.
Untuk mengatasi kendala logistik dan memberikan dukungan yang lebih komprehensif kepada keluarga korban, posko utama evakuasi dan identifikasi telah dipindahkan ke RS Bhayangkara Polda Jatim. Lokasi ini dinilai jauh lebih representatif dengan dukungan fasilitas medis yang lengkap, ruang tunggu yang lebih nyaman, serta ketersediaan tim medis dan psikolog yang siap memberikan pendampingan. Diharapkan dengan relokasi ini, keluarga bisa melewati masa krisis dengan lebih tenang dan mendapatkan informasi yang akurat secara terpusat.
Tragedi ini juga memicu sorotan tajam terhadap standar keamanan bangunan di lingkungan pesantren dan institusi pendidikan lainnya. Pemerintah daerah dan pihak terkait diharapkan segera melakukan audit struktural terhadap bangunan-bangunan tua dan memastikan kelayakan serta keamanan fasilitas umum yang digunakan oleh masyarakat, khususnya anak-anak. Penyelidikan mendalam mengenai penyebab ambruknya mushola ini juga sedang berlangsung untuk mengetahui apakah ada kelalaian konstruksi atau faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap insiden mematikan ini. Komitmen untuk merekonstruksi kembali fasilitas yang runtuh dengan standar keamanan yang lebih baik juga menjadi agenda penting pasca tragedi.
Hingga hari keenam tragedi Ponpes Al Khoziny Sidoarjo, upaya pencarian dan identifikasi terus dilakukan tanpa henti. Solidaritas dan doa mengalir deras dari seluruh penjuru negeri, berharap agar 49 santri yang belum ditemukan dapat segera ditemukan, hidup atau meninggal, agar keluarga bisa mendapatkan kepastian dan memulai proses pemulihan. Tragedi Al Khoziny akan selalu menjadi pengingat pahit akan pentingnya keselamatan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana, serta bagaimana kemanusiaan diuji dalam menghadapi kehilangan yang mendalam.
(rakyatindependen.id)