Tradisi turun temurun mengarak ribuan telur yang dihias dengan indah ini dilakukan hampir di seluruh pelosok Banyuwangi, dari desa-desa terpencil hingga pusat kota, untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Telur-telur tersebut disusun rapi dalam wadah khusus, seringkali dihias dengan kertas warna-warni atau payung kecil, lalu diarak keliling kampung dengan iringan shalawat dan tabuhan rebana. Acara puncak biasanya adalah pembacaan maulid, doa bersama, dan pembagian telur kepada masyarakat, terutama anak-anak. Endhog-endhogan bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga simbol persatuan, gotong royong, dan penghormatan terhadap ajaran Nabi. Oleh karena itu, ketersediaan pasokan telur menjadi krusial untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan tradisi yang sangat dinanti-nantikan ini.
Plt. Kepala Dinas Pertanian dan Pangan (Dispertan) Banyuwangi, Ilham Juanda, dengan tegas memastikan bahwa kebutuhan telur di Banyuwangi akan tetap aman dan terkendali selama perayaan Hari Besar Keagamaan Nasional (HKBN) ini. Pernyataan ini didasarkan pada data produksi dan konsumsi yang akurat, menunjukkan perencanaan yang matang dari pemerintah daerah. "Produksi telur kita mencapai 820,76 ton per bulan," kata Ilham pada hari Selasa, 9 September 2025, menggarisbawahi kapasitas produksi yang besar dari sektor peternakan di Banyuwangi. Angka ini mencerminkan kapasitas yang kuat dari para peternak lokal untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat, tidak hanya untuk kebutuhan sehari-hari tetapi juga untuk momen-momen khusus seperti Maulid Nabi.
Sementara itu, berdasarkan data jumlah penduduk Banyuwangi yang mencapai sekitar 1,7 juta jiwa, kebutuhan telur di masyarakat diperkirakan sekitar 778,72 ton per bulan. Perhitungan ini didasarkan pada standar konsumsi rata-rata per kapita yang telah dianalisis oleh dinas terkait, memastikan bahwa estimasi kebutuhan masyarakat Banyuwangi telah mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk pola makan dan preferensi lokal. Dengan membandingkan angka produksi dan konsumsi ini, terlihat jelas bahwa Banyuwangi masih mengalami surplus telur sebesar 42,04 ton per bulan. "Maka kebutuhan pangan warga selama perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, Insya Allah tercukupi, bahkan lebih," ucap Ilham, memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa tidak perlu ada kekhawatiran akan kelangkaan atau kenaikan harga yang tidak wajar. Surplus ini tidak hanya menjamin ketersediaan lokal tetapi juga menempatkan Banyuwangi sebagai salah satu daerah penyangga ketahanan pangan di tingkat regional.
Abdul Rozak, Kepala Bidang (Kabid) Budi Daya dan Usaha Peternakan Dispertan, memberikan penjelasan lebih rinci mengenai infrastruktur dan potensi produksi telur di Banyuwangi. Menurutnya, jumlah populasi ayam petelur di Banyuwangi saat ini mencapai angka yang mengesankan, yaitu 1.390.710 ekor. Angka ini menunjukkan skala industri peternakan yang berkembang pesat di wilayah tersebut, didukung oleh kondisi geografis dan iklim yang kondusif, serta dukungan pemerintah daerah. Populasi ayam petelur yang besar ini tersebar di beberapa sentra utama yang telah diidentifikasi dan dikembangkan oleh Dispertan. "Sentra ayam petelur di Banyuwangi tersebar di Kecamatan Blimbingsari, Srono, Wongsorejo, Gambiran, Kalibaru, Songgon, dan Bangorejo," beber Rozak.
Pemilihan lokasi sentra-sentra ini bukan tanpa alasan. Kecamatan-kecamatan tersebut umumnya memiliki aksesibilitas yang baik, ketersediaan lahan yang memadai, dan lingkungan yang relatif stabil untuk budidaya unggas. Selain itu, sentra-sentra ini seringkali dilengkapi dengan fasilitas pendukung seperti pabrik pakan lokal, pusat kesehatan hewan, dan jaringan distribusi yang efisien, yang semuanya berkontribusi pada produktivitas tinggi. Dari wilayah-wilayah sentra ini, produksi telur rata-rata mencapai 27,36 ton per hari, yang setara dengan sekitar 456 ribu butir telur setiap harinya. Angka harian ini sangat vital untuk menjaga pasokan tetap segar dan terus mengalir ke pasar.
Jika dikalkulasikan secara bulanan, Zaky, sapaan akrab Abdul Rozak, menjelaskan bahwa produksinya mencapai 820,76 ton atau setara dengan sekitar 13,68 juta butir telur per bulan. Jumlah butiran telur yang fantastis ini menggambarkan betapa masifnya industri peternakan telur di Banyuwangi. Angka-angka ini juga mencerminkan efisiensi dan skala ekonomi yang telah dicapai oleh para peternak di daerah tersebut. Keberadaan sentra-sentra peternakan yang terintegrasi dan terdistribusi ini memiliki dampak yang sangat positif. Menurut Zaky, ini membuat distribusi telur menjadi lebih mudah dan cepat, sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara optimal, termasuk saat terjadi lonjakan permintaan pada momentum-momentum krusial seperti Maulid Nabi. Peternak di sentra-sentra ini juga seringkali tergabung dalam koperasi atau kelompok tani, yang memungkinkan mereka untuk berkolaborasi dalam pengadaan pakan, pemasaran, dan penanganan masalah kesehatan ternak, sehingga meningkatkan daya saing dan keberlanjutan usaha mereka.
Dalam konteks pasar, saat ini harga telur ayam ras di pasaran Banyuwangi berkisar di harga Rp25 ribu hingga Rp27 ribu per kilogramnya. Kenaikan harga ini, menurut Zaky, merupakan hal yang wajar di momen hari besar keagamaan, seperti Maulid Nabi. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui prinsip dasar ekonomi penawaran dan permintaan. Peningkatan permintaan yang signifikan untuk perayaan Maulid Nabi secara alami akan mendorong sedikit kenaikan harga. Namun, Zaky menekankan bahwa kenaikan ini masih dalam batas kewajaran dan tidak mengindikasikan kelangkaan pasokan yang serius. "Ketersediaan telur di Banyuwangi tetap terjamin, baik untuk kebutuhan harian maupun saat permintaan naik pada momentum ini," tandasnya. Pernyataan ini memberikan kepastian kepada konsumen bahwa mereka dapat memperoleh telur dengan harga yang stabil dan pasokan yang memadai, tanpa harus khawatir akan spekulasi harga atau kekurangan barang.
Selain itu, keberhasilan Banyuwangi dalam menjaga surplus produksi telur ini juga mencerminkan komitmen pemerintah daerah dalam mendukung sektor pertanian dan pangan. Berbagai program telah diluncurkan, mulai dari penyediaan bibit unggul, pelatihan bagi peternak, subsidi pakan, hingga fasilitasi akses permodalan. Program-program ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kesejahteraan peternak, yang pada gilirannya akan memperkuat ketahanan pangan daerah. Para peternak juga didorong untuk menerapkan praktik budidaya yang berkelanjutan, termasuk pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik atau biogas, yang tidak hanya mengurangi dampak lingkungan tetapi juga menciptakan nilai tambah ekonomis.
Ke depan, Banyuwangi memiliki potensi besar untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan lokal tetapi juga menjadi pemasok telur bagi daerah lain di Jawa Timur, bahkan mungkin hingga skala nasional. Dengan strategi pengembangan yang tepat, seperti modernisasi kandang, penerapan teknologi pakan yang inovatif, dan pengembangan produk turunan telur, sektor peternakan telur di Banyuwangi dapat terus tumbuh dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian daerah. Kolaborasi antara pemerintah, peternak, akademisi, dan sektor swasta akan menjadi kunci utama untuk mewujudkan visi ini. Dengan demikian, tradisi endhog-endhogan di Banyuwangi tidak hanya menjadi simbol kebudayaan dan keagamaan, tetapi juga cerminan dari kemandirian pangan daerah yang kokoh dan berkelanjutan. Masyarakat Banyuwangi dapat merayakan Maulid Nabi dengan penuh suka cita, knowing that their traditional needs, especially for eggs, are more than adequately met by local production. Ini adalah bukti nyata dari sinergi yang harmonis antara tradisi, ekonomi, dan kebijakan pemerintah yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.
rakyatindependen.id