Malang (rakyatindependen.id) – Di tengah optimisme pemerintah yang gencar berupaya membangkitkan denyut perekonomian nasional melalui gelontoran dana stimulus sebesar Rp200 triliun, sebuah ancaman laten dan mematikan mulai menyelimuti horison. Dana segar yang digadang-gadang mampu menjadi katalis pertumbuhan ini berisiko besar justru jatuh ke dalam jurang gelap judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol) ilegal. Skenario terburuk yang diungkap para pakar menunjukkan bahwa jika tidak diantisipasi secara komprehensif, niat baik pemerintah untuk menggerakkan roda ekonomi justru dapat berbalik menjadi bumerang, memperparah masalah sosial dan ekonomi di tengah masyarakat.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah mengakui secara terbuka bahwa mereka kewalahan menghadapi serangan konten judol yang kian masif dan agresif di ruang digital Indonesia. Perang melawan praktik ilegal ini seolah tak pernah usai, sebuah pertarungan tanpa akhir yang menguras sumber daya dan energi. Alexander Sabar, Direktur Jenderal Pengawasan Digital Komdigi, menegaskan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi bukan sekadar isu teknologi atau kerumitan regulasi, melainkan juga tingginya permintaan dari masyarakat sendiri. Fenomena ini menjadi paradoks yang sulit dipecahkan: di satu sisi pemerintah berupaya menciptakan iklim ekonomi yang sehat, di sisi lain masyarakat terjerat godaan instan yang merusak.
“Bukan mau menyalahkan masyarakat kita, tetapi ini fakta. Kalau kita melihat prinsip adanya perkembangan atau orang membuat situs judi online, karena ada demand di masyarakat. Ada kebutuhan, dan ada yang memenuhi kebutuhan itu,” ujar Alexander Sabar di Jakarta, Rabu (17/9/2025) lalu. Pernyataan ini menggarisbawahi akar masalah yang lebih dalam, bahwa judi online bukan hanya soal ketersediaan platform, tetapi juga tentang kondisi sosial-ekonomi yang mendorong individu mencari jalan pintas. Desakan kebutuhan ekonomi, ditambah dengan harapan semu akan kekayaan instan, menjadi lahan subur bagi bandar judol untuk menebar jaringnya.
Alexander Sabar mengidentifikasi tiga faktor utama yang membuat perang melawan judi online terasa tak berujung dan selalu kembali muncul, yakni perkembangan teknologi yang begitu pesat dan adaptif, lemahnya prosedur hukum yang kerap tertinggal dari kecepatan inovasi para pelaku, serta faktor manusia itu sendiri yang menjadi target utama dan sekaligus pemicu permintaan. Meskipun demikian, pihaknya menegaskan bahwa Komdigi tetap konsisten dan tak akan menyerah dalam upaya menutup akses ke berbagai situs dan aplikasi judi online. Upaya pemblokiran dilakukan secara terus-menerus, menunjukkan komitmen pemerintah meskipun dihadapkan pada tantangan yang luar biasa berat.
Data yang dirilis Komdigi menjadi bukti nyata betapa masifnya praktik ilegal ini di ruang digital Indonesia. Sejak 20 Oktober 2024 hingga 16 September 2025, lebih dari 2,1 juta konten judi online telah berhasil diblokir. Angka ini merupakan bagian signifikan dari total 2,8 juta konten negatif yang berhasil ditindak. Statistik ini tidak hanya menggambarkan skala masalah, tetapi juga mengindikasikan bahwa setiap detik, setiap jam, ada saja konten judi online baru yang muncul, seperti jamur di musim hujan, menantang kemampuan pemerintah untuk melakukan pengawasan dan penindakan. Ini adalah perlombaan tanpa akhir antara regulator dan para bandar.
Persoalan ini menjadi semakin rumit ketika fenomena judi online bertemu dengan kebijakan ekonomi makro yang sedang digalakkan pemerintah. Noval Adib, Ph.D., seorang Dosen Magister Akuntansi FEB Universitas Brawijaya, menilai bahwa penyaluran dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp200 triliun yang digelontorkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menghadapi hambatan serius. Menurut analisis Noval Adib, kredit perbankan yang seharusnya menjadi tulang punggung pergerakan ekonomi riil justru sulit diserap oleh sektor produktif karena daya beli masyarakat yang masih sangat rendah. Ini menciptakan dilema besar: dana tersedia, tetapi tidak dapat dialirkan secara efektif ke sektor yang seharusnya menerima.
“Daya beli masyarakat lagi rendah-rendahnya, yang berdampak pada melambatnya roda bisnis industri. Kondisi ini membuat kalangan industri merasa belum perlu menambah pembiayaan dengan mengajukan kredit ke bank,” jelas Noval Adib kepada rakyatindependen.id, Sabtu (20/9/2025). Pernyataan ini menunjukkan bahwa stagnasi ekonomi tidak hanya disebabkan oleh kurangnya modal, tetapi juga oleh minimnya permintaan dan kepercayaan diri pasar. Ketika masyarakat tidak memiliki cukup uang untuk berbelanja atau berinvestasi, sektor industri pun enggan untuk berekspansi, menciptakan lingkaran setan perlambatan ekonomi. Dana Rp200 triliun yang seharusnya menjadi booster, justru berisiko mengendap atau salah sasaran.
Noval Adib memperingatkan, ketika saluran kredit produktif tersumbat dan pertumbuhan ekonomi melambat, masyarakat justru cenderung mencari jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan atau sekadar mencari hiburan. Dalam kondisi tertekan, godaan untuk meraih keuntungan instan melalui judi online dan pinjaman ilegal menjadi sangat kuat. Fenomena ini, menurut Noval, adalah "kanker ganas" yang secara perlahan namun pasti menggerogoti kekayaan rakyat, merusak fondasi ekonomi keluarga, dan menciptakan masalah sosial yang kompleks. Kanker ini tidak hanya menyerang individu, tetapi juga merambat ke lingkungan sosial yang lebih luas, merusak struktur keluarga dan komunitas.
“Masyarakat tergoda untuk kaya cepat dengan ikut judol, yang mayoritas berakhir dengan ludesnya kas mereka. Ludesnya kas kemudian mendorong masyarakat berpaling ke pinjol,” terangnya. Skenario ini adalah spiral kehancuran finansial yang umum terjadi. Awalnya, seseorang mungkin tergiur oleh janji kemenangan besar, menginvestasikan sedikit uang, dan mungkin bahkan mendapatkan kemenangan awal yang memicu dopamine. Namun, pada akhirnya, mayoritas pemain judi online akan kehilangan seluruh modalnya, bahkan lebih. Dalam keputusasaan karena kehilangan uang, mereka kemudian terpaksa meminjam dari pinjol ilegal dengan bunga mencekik, yang justru memperparah kondisi keuangan mereka hingga ke titik terendah.
Ia memperingatkan, jika kondisi mental masyarakat yang cenderung mencari jalan pintas ini tidak diantisipasi dan diatasi dengan serius, stimulus sebesar Rp200 triliun yang disalurkan justru akan memperparah masalah sosial yang ada. Dana tersebut, yang seharusnya digunakan untuk memutar roda ekonomi, justru dapat tersedot ke kantong para bandar judi online dan operator pinjol ilegal, memperkaya mereka sambil memiskinkan rakyat. Ini adalah ironi yang memilukan, di mana kebijakan ekonomi yang berniat baik justru tanpa sengaja memberi makan entitas ilegal yang merusak tatanan sosial.
“Ketika kondisi mental masyarakat seperti ini lalu mau diguyur kredit oleh bank-bank, apa nggak berbahaya? Bisa-bisa pada akhirnya dana SAL itu ujung-ujungnya akan ditadah oleh bandar judol dan pinjol juga,” tegasnya. Pernyataan ini bukan hanya sekadar peringatan, melainkan sebuah skenario terburuk yang sangat mungkin terjadi. Jika masyarakat yang secara finansial rentan dan mentalnya tergoda oleh jalan pintas diberi akses mudah ke dana segar, ada kemungkinan besar dana tersebut tidak akan digunakan untuk tujuan produktif, melainkan untuk melunasi utang judi, atau bahkan untuk modal berjudi lagi.
Dampak dari skenario ini akan sangat luas. Pertama, secara ekonomi, dana Rp200 triliun yang seharusnya menjadi investasi untuk masa depan dan mendorong pertumbuhan, akan hilang begitu saja, tidak menciptakan nilai tambah, tidak menyerap tenaga kerja, dan tidak menggerakkan sektor riil. Kedua, secara sosial, peningkatan jumlah korban judi online dan pinjol ilegal akan menyebabkan krisis multidimensional: keluarga yang hancur, meningkatnya kasus bunuh diri akibat depresi dan tumpukan utang, serta potensi peningkatan angka kriminalitas karena orang-orang putus asa mencari cara untuk membayar utang mereka. Ini akan menciptakan bom waktu sosial yang siap meledak.
Oleh karena itu, diperlukan strategi yang lebih holistik dan terintegrasi. Selain upaya pemblokiran konten judi online oleh Komdigi, pemerintah juga harus memperkuat literasi keuangan masyarakat, memberikan pendidikan tentang bahaya judi online dan pinjol ilegal, serta menciptakan lebih banyak peluang ekonomi yang realistis dan berkelanjutan. Penegakan hukum terhadap bandar judi online dan operator pinjol ilegal juga harus lebih tegas dan efektif, melibatkan kerja sama lintas kementerian dan lembaga, bahkan dengan otoritas internasional. Dana stimulus Rp200 triliun harus disalurkan dengan mekanisme pengawasan yang ketat, memastikan bahwa dana tersebut benar-benar sampai ke sektor produktif dan bukan ke tangan para penipu.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan program-program rehabilitasi bagi korban judi online dan pinjol, memberikan dukungan psikologis dan finansial untuk membantu mereka keluar dari jeratan. Tanpa intervensi yang kuat dan terpadu, gelontoran dana Rp200 triliun, yang seharusnya menjadi harapan, justru bisa berubah menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi dan sosial bangsa. Ini adalah panggilan darurat bagi semua pihak untuk bekerja sama, melindungi masyarakat dari predator digital, dan memastikan bahwa setiap rupiah dari dana stimulus benar-benar digunakan untuk membangun masa depan yang lebih baik, bukan untuk membiayai kehancuran. Ancaman ini nyata, dan tindakan cepat serta terkoordinasi adalah satu-satunya jalan untuk menghindarinya.
(dan/ian/rakyatindependen.id)