Api Semangat Yamato: Cak Yebe Ajak Generasi Muda Surabaya Teruskan Estafet Perjuangan Kedaulatan

Surabaya – Dalam sebuah peringatan yang penuh makna dan heroik, Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, yang akrab disapa Cak Yebe, kembali menggaungkan seruan penting kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya generasi muda Kota Pahlawan, untuk senantiasa mewarisi dan menghidupkan kembali nyala api semangat perjuangan arek-arek Suroboyo. Pesan yang mendalam ini disampaikan Cak Yebe saat ia dengan penuh penghayatan membacakan narasi utama dalam sebuah teatrikal kolosal bertajuk "Surabaya Merah Putih" yang memukau ribuan pasang mata di pelataran bersejarah Hotel Majapahit, atau yang dulu dikenal sebagai Hotel Yamato, pada Minggu, 19 September 2024 lalu.

Acara peringatan yang diselenggarakan dengan begitu megah dan melibatkan banyak pihak ini bukan sekadar sebuah pertunjukan biasa, melainkan sebuah ritual kolektif untuk mengenang dan menegaskan kembali salah satu episode paling heroik dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Perobekan bendera Belanda yang kemudian menyisakan warna Merah Putih di puncak Hotel Yamato pada 19 September 1945 adalah simbol tak tergoyahkan dari keberanian, harga diri, dan penolakan keras rakyat Surabaya terhadap segala bentuk penjajahan. "Perobekan bendera di Hotel Yamato adalah pesan abadi bahwa rakyat Surabaya tidak pernah tunduk pada penjajahan, pada penindasan, atau pada upaya apapun untuk merampas kedaulatan mereka," tegas Cak Yebe, suaranya menggema di antara gemuruh tepuk tangan dan sorakan "Merdeka!" dari penonton yang memadati area tersebut. "Semangat ini, semangat yang membara dari setiap tetes darah pejuang kita, harus diwariskan secara turun-temurun ke generasi muda agar mereka tidak hanya sekadar mengenang peristiwa heroik ini sebagai catatan sejarah, tetapi juga mampu menerapkannya dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari."

Dengan nada penuh penghayatan, Cak Yebe membawakan kembali kisah heroik yang terjadi tepat 79 tahun silam. Ia memaparkan dengan gamblang detik-detik menegangkan pada 19 September 1945, saat bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) dikibarkan di puncak Hotel Yamato oleh tentara Sekutu yang diboncengi Belanda (NICA), memicu amarah besar rakyat Surabaya yang baru saja merasakan euforia kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan sebulan sebelumnya. Tanpa ragu, rakyat Surabaya yang dipimpin oleh para pejuang gigih, dengan berani menentang dan merobek bagian biru dari bendera tersebut, mengubahnya menjadi bendera Merah Putih, sebuah deklarasi nyata bahwa kemerdekaan Indonesia adalah harga mati yang harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan. Narasi Cak Yebe bukan hanya sekadar bercerita, tetapi juga berhasil menghadirkan kembali nuansa mencekam sekaligus membanggakan dari peristiwa krusial tersebut, seolah mengajak penonton kembali ke masa lampau.

Sebagai Ketua Komisi A DPRD Surabaya yang memiliki tanggung jawab besar dalam bidang pemerintahan dan hukum, Cak Yebe melihat acara teatrikal kolosal ini sebagai manifestasi nyata dari peran legislatif dalam merawat dan memperkokoh nilai-nilai kebangsaan. Menurutnya, tugas DPRD tidak hanya terbatas pada pembentukan regulasi atau pengawasan jalannya pemerintahan. Lebih dari itu, DPRD memiliki mandat moral dan konstitusional untuk secara aktif ikut serta dalam menjaga persatuan, memupuk nasionalisme, dan memastikan bahwa semangat perjuangan para pahlawan tetap hidup dan relevan di tengah masyarakat yang terus berkembang. "Peran kami di DPRD bukan hanya merumuskan perda atau mengawal kebijakan, tetapi juga menjadi garda terdepan dalam menjaga dan melestarikan ingatan kolektif bangsa, memastikan bahwa generasi mendatang memahami akar identitas mereka," jelas Cak Yebe.

Kehadiran sejumlah pejabat penting Kota Surabaya dalam teatrikal ini turut menambah bobot dan makna acara. Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, dengan totalitas ikut memerankan tokoh Residen Soedirman, sosok penting yang terlibat langsung dalam peristiwa bersejarah tersebut, memberikan komando dan arahan kepada para pejuang. Penampilannya yang begitu menghayati peran Residen Soedirman disambut dengan riuh tepuk tangan warga. Selain Wali Kota Eri, Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Luthfie, Sekretaris Daerah Kota Surabaya Lilik Arijanto, dan beberapa kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya juga tak ketinggalan mengambil bagian. Mereka memerankan berbagai tokoh pejuang, mulai dari arek-arek Suroboyo yang heroik hingga tokoh-tokoh penting lainnya yang terlibat dalam perjuangan. Kehadiran para pejabat tinggi kota ini menunjukkan kebersamaan lintas elemen pemerintahan dalam merawat semangat perjuangan dan persatuan, sekaligus memberikan teladan bahwa pemimpin juga harus menjadi penjaga sejarah dan nilai-nilai luhur bangsa.

Teatrikal kolosal ini semakin semarak dan hidup berkat partisipasi aktif dari ratusan seniman lokal, pelajar dari berbagai tingkatan, dan komunitas sejarah yang ada di Surabaya. Mereka berkolaborasi dengan apik, menampilkan adegan-adegan dramatis yang merekonstruksi ulang peristiwa perobekan bendera dengan sangat detail dan emosional. Gerakan-gerakan yang terkoordinasi, ekspresi wajah yang penuh semangat, serta kostum yang otentik, berhasil membawa ribuan warga yang memadati kawasan Hotel Majapahit seolah-olah kembali ke masa 1945. Lautan manusia yang memadati area tersebut, dengan mata terpaku pada panggung teatrikal, menjadi saksi bisu betapa kuatnya ikatan antara masyarakat Surabaya dengan sejarah kepahlawanan kota mereka. Puncak acara yang paling dinanti-nantikan tiba ketika momen perobekan warna biru pada bendera Belanda dilakukan. Secara simbolis, sekelompok aktor yang memerankan pejuang Surabaya dengan sigap merobek bagian biru bendera tersebut, yang langsung disambut dengan gemuruh teriakan "Merdeka!" yang menggema dan menggetarkan dari seluruh penonton. Suasana haru bercampur bangga menyelimuti lokasi, menandai klimaks dari peringatan yang penuh makna ini.

Menurut Cak Yebe, pekikan "Merdeka!" yang begitu lantang dan tulus dari ribuan warga tersebut bukan sekadar luapan emosi sesaat, melainkan sebuah pengingat kolektif bahwa semangat perjuangan arek-arek Suroboyo tidak boleh padam. Semangat itu harus terus menyala, menjadi obor penerang bagi setiap langkah dan keputusan yang diambil di masa kini dan masa depan. Ia menekankan bahwa warisan perjuangan tidak hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi tentang bagaimana nilai-nilai luhur dari perjuangan tersebut dapat diimplementasikan dalam tantangan kontemporer. "Semangat arek-arek Suroboyo tidak boleh berhenti di masa lalu, terkurung dalam buku-buku sejarah atau sekadar monumen. Tugas kita sekarang adalah meneruskannya dengan menjaga demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah, memperkuat persatuan di tengah keberagaman, dan menghadirkan keadilan yang merata bagi seluruh warga Surabaya," pungkasnya, mengakhiri pesannya dengan penekanan pada relevansi sejarah bagi pembangunan kota dan bangsa saat ini.

Cak Yebe juga menambahkan bahwa semangat kebersamaan dan kegigihan yang ditunjukkan pada peristiwa Yamato harus menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk menghadapi berbagai tantangan zaman, mulai dari permasalahan sosial, ekonomi, hingga politik. "Jika dulu arek-arek Suroboyo berani melawan penjajah, kini generasi muda harus berani melawan kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, dan segala bentuk disinformasi yang mengancam persatuan bangsa," ujarnya. Ia mengajak agar semangat pantang menyerah ini diaplikasikan dalam membangun inovasi, memajukan pendidikan, serta memperkuat karakter bangsa agar Surabaya terus menjadi kota yang maju dan berkeadilan. Peringatan teatrikal ini, dengan segala kemegahannya, diharapkan mampu menanamkan kembali rasa cinta tanah air dan kebanggaan akan identitas sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, jauh melampaui sekadar perayaan, menjadi sebuah pengingat akan tugas abadi untuk menjaga dan mengisi kemerdekaan.

[asg/but]

rakyatindependen.id

Exit mobile version