Ketegangan politik di Kota Blitar mencapai puncaknya setelah Wakil Wali Kota (Wawali) Elim Tyu Samba secara terbuka menyampaikan keluh kesahnya mengenai perselisihan mendalam dengan Wali Kota Blitar, Syauqul Muhibbin, yang akrab disapa Mas Ibin. Konflik yang semula disinyalir hanya seputar rotasi dan mutasi jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN), kini terkuak jauh lebih kompleks, mencakup isu-isu krusial terkait tata kelola anggaran dan kebijakan pemerintahan yang berpotensi mengguncang stabilitas birokrasi dan kepercayaan publik di Kota Patria.
Dalam pernyataan yang disampaikan pada Selasa (14/10/2025), Elim Tyu Samba, sosok nomor dua di Kota Blitar, dengan lugas mengungkapkan bahwa akar perselisihan mereka jauh melampaui sekadar penempatan pegawai. Ia menyoroti keterasingan dirinya dari proses pengambilan keputusan fundamental yang seharusnya melibatkan partisipasinya sebagai wakil kepala daerah. "Penganggaran diproses PAK 2025 dan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) untuk APBD 2026 sama sekali saya tidak diajak bicara sama sekali," beber Elim, menggambarkan betapa dirinya dipinggirkan dari pembahasan inti keuangan daerah.
Pernyataan ini sontak memantik perhatian, mengingat peran Wawali yang secara konstitusional bertugas membantu Wali Kota dalam menjalankan roda pemerintahan. Ketidakterlibatan Wawali dalam pembahasan anggaran, terutama pada tahapan KUA-PPAS yang menjadi fondasi penyusunan APBD, merupakan anomali serius dalam tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan. KUA-PPAS adalah dokumen strategis yang memuat prioritas pembangunan daerah serta alokasi anggaran awal, sehingga partisipasi aktif dari seluruh jajaran pimpinan daerah sangat krusial untuk memastikan perencanaan yang komprehensif dan akuntabel.
Elim menambahkan bahwa satu-satunya informasi terkait anggaran yang ia terima adalah undangan rancangan anggaran tahun 2026 dari Kementerian Keuangan, di mana ia mengetahui adanya pemotongan anggaran sebesar Rp114 miliar. "Cuma satu kali itu," tegasnya. Fakta ini sungguh mencengangkan. Bahwa seorang Wakil Wali Kota justru mengetahui informasi vital mengenai pemotongan anggaran daerahnya dari pihak eksternal, bukan dari komunikasi internal dengan Wali Kota atau jajaran perangkat daerah lainnya, menunjukkan adanya disfungsi komunikasi yang parah di puncak kepemimpinan Kota Blitar. Pemotongan anggaran sebesar Rp114 miliar bukanlah jumlah yang kecil; angka tersebut berpotensi berdampak signifikan pada program-program pembangunan, pelayanan publik, atau investasi daerah yang telah direncanakan. Ketidakterlibatan Wawali dalam pembahasan ini berarti ia tidak memiliki kesempatan untuk memahami alasan pemotongan, merumuskan strategi mitigasi, atau bahkan memberikan masukan untuk prioritas anggaran yang baru.
Sejak dilantik pada 20 Februari 2025, Elim mengaku bahwa pola pengabaian ini sudah menjadi kebiasaan. Ia merasa tidak banyak dilibatkan dalam berbagai urusan pemerintahan, termasuk di dalamnya adalah soal penganggaran yang merupakan tulang punggung operasional dan pembangunan daerah. Sebagai seorang politisi dari Partai Gerindra, Elim berharap adanya sinergi dan komunikasi yang konstruktif dengan Wali Kota, namun realitasnya jauh panggang dari api. "PAK saya tidak tahu, Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD 2026 saya juga tidak tahu meskipun saya menghadiri rapat paripurna karena saya dapat undangan dari DPRD," tegas Elim. Poin ini sangat krusial; kehadirannya di rapat paripurna legislatif atas undangan DPRD, bukan dari eksekutif yang seharusnya menjadi pasangannya, semakin menegaskan adanya jurang komunikasi yang dalam antara Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Ini bukan hanya masalah personal, melainkan indikasi kuat adanya masalah dalam mekanisme koordinasi dan pengambilan keputusan di pemerintahan daerah.
Ketidakjelasan dalam proses Penetapan Anggaran Perubahan (PAK) serta KUA-PPAS dapat berdampak luas. PAK, yang merupakan penyesuaian anggaran berjalan, seringkali digunakan untuk mengakomodasi perubahan prioritas atau kondisi tak terduga. Jika Wawali tidak mengetahui proses ini, ia tidak dapat memberikan pengawasan atau memastikan bahwa perubahan anggaran dilakukan secara efisien dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Demikian pula dengan KUA-PPAS, yang menjadi pedoman awal penyusunan APBD tahun berikutnya. Ketidakterlibatan Wawali berarti ia kehilangan kesempatan untuk menyuarakan visi, prioritas, atau kepentingan konstituen yang diwakilinya dalam perencanaan anggaran jangka menengah. Ini dapat mengarah pada kebijakan yang kurang inklusif atau kurang representatif terhadap seluruh spektrum masyarakat Blitar.
Dalam konteks undang-undang pemerintahan daerah, peran Wawali adalah membantu kepala daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah secara eksplisit mengatur tugas dan wewenang Wakil Kepala Daerah, yang salah satunya adalah "membantu Kepala Daerah dalam mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah apabila Kepala Daerah berhalangan, serta melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh Kepala Daerah". Meskipun tidak secara gamblang menyatakan bahwa Wawali harus dilibatkan dalam setiap detail anggaran, semangat UU tersebut menggarisbawahi pentingnya kolaborasi dan sinergi. Jika Wawali tidak diajak bicara sama sekali dalam urusan sepenting anggaran, hal ini dapat diinterpretasikan sebagai pengabaian terhadap peran dan fungsi Wakil Kepala Daerah yang diamanatkan oleh undang-undang.
Elim sendiri mengaku bingung mengapa dirinya tidak pernah diajak bicara, meskipun statusnya adalah wakil dari Wali Kota Blitar yang seharusnya menjadi tandem dalam memimpin daerah. "Saya sih berharap diajak bicara tapi sampai sekarang tidak ada komunikasi," ujarnya dengan nada penuh harap namun juga kekecewaan. Ketiadaan komunikasi yang efektif di antara dua pucuk pimpinan daerah ini tidak hanya menciptakan ketidaknyamanan personal, tetapi juga dapat menghambat kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Keputusan strategis, koordinasi antarperangkat daerah, hingga penanganan isu-isu mendesak, semua akan terpengaruh jika tidak ada komunikasi yang baik dan sinergi antara Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Hal ini bisa berujung pada kebijakan yang tidak koheren, pelaksanaan program yang tersendat, dan pada akhirnya, kerugian bagi masyarakat Blitar.
Sebelumnya, ketegangan ini sudah tercium publik melalui protes Elim terkait rotasi dan mutasi jabatan ASN. Puncak dari ketidaksetujuannya adalah keputusannya untuk tidak hadir dalam acara mutasi 123 jabatan ASN di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Blitar. Absennya Wawali dalam acara sepenting itu, yang merupakan momen penempatan pejabat untuk menggerakkan roda birokrasi, adalah bentuk protes publik yang sangat jelas dan tegas. Ini bukan sekadar ketidakhadiran fisik, melainkan penolakan moral dan politik terhadap proses yang dianggap tidak melibatkan dirinya atau bahkan melanggar aturan. Mutasi jabatan ASN adalah proses krusial yang harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan berdasarkan meritokrasi. Jika Wawali merasa tidak dilibatkan atau bahkan menemukan indikasi pelanggaran, keputusannya untuk tidak hadir adalah cara untuk menarik perhatian publik dan lembaga pengawas terhadap potensi masalah yang ada.
Merasa bahwa situasi ini sudah melampaui batas, Elim Tyu Samba menyatakan akan mengambil langkah tegas dengan melaporkan kedua hal tersebut—yakni pengabaian dalam proses penganggaran dan mutasi jabatan ASN—ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). "Ini sudah jelas melenceng dari aturan (soal mutasi jabatan). Makanya saya akan melaporkan ke Kemendagri," tandasnya. Keputusan untuk membawa masalah ini ke Kemendagri menunjukkan bahwa Elim menganggap perselisihan ini bukan lagi masalah internal yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan, melainkan persoalan serius yang memerlukan intervensi dari pemerintah pusat. Kemendagri memiliki wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk menyelesaikan konflik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Laporan ke Kemendagri bisa berujung pada mediasi, investigasi, atau bahkan sanksi administratif jika ditemukan pelanggaran berat terhadap peraturan perundang-undangan.
Pelaporan ke Kemendagri ini dapat menjadi babak baru dalam dinamika politik di Blitar. Jika laporan Elim terbukti, hal ini tidak hanya akan memperkeruh hubungan antara Wali Kota dan Wawali, tetapi juga dapat menimbulkan konsekuensi hukum dan administratif bagi pihak-pihak yang terlibat. Reputasi pemerintahan Kota Blitar di mata publik dan investor juga dapat terpengaruh, mengingat konflik internal di pucuk pimpinan seringkali dianggap sebagai tanda ketidakstabilan. Masyarakat Blitar tentu berharap agar konflik ini dapat segera diselesaikan demi keberlanjutan pembangunan dan pelayanan publik yang optimal. Ketegangan yang berkepanjangan hanya akan merugikan warga dan menghambat kemajuan daerah. Kasus ini juga menjadi pengingat penting bagi seluruh kepala daerah dan wakil kepala daerah di Indonesia mengenai urgensi komunikasi, koordinasi, dan sinergi dalam menjalankan amanah rakyat.
rakyatindependen.id