Jawa Timur Berjuang Hadapi Pemotongan Dana Transfer Pusat Rp2,8 Triliun, Gubernur Khofifah Usulkan Kenaikan DBHCHT Jadi 10 Persen

Provinsi Jawa Timur menghadapi tantangan fiskal signifikan menyusul keputusan pemerintah pusat untuk memangkas alokasi dana transfer ke daerah (DTD) secara substansial. Berdasarkan surat resmi Kementerian Keuangan dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan nomor S-62/PK/2025 yang diterbitkan pada tanggal 23 September 2025, dana transfer yang akan diterima Jawa Timur pada tahun anggaran 2026 mendatang mengalami pemotongan sebesar Rp2,815 triliun. Angka ini merupakan penurunan drastis, mengingat pada tahun 2025, Jawa Timur masih menerima DTD sebesar Rp11,4 triliun, yang kemudian akan berkurang menjadi hanya Rp8,8 triliun di tahun 2026. Pemotongan anggaran sebesar itu tentu saja berpotensi memberikan dampak luas terhadap berbagai program pembangunan dan pelayanan publik di provinsi berpenduduk padat ini.

Menyikapi situasi genting ini, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, segera bergerak cepat dengan melakukan komunikasi intensif dengan pihak terkait di pemerintah pusat. Salah satu langkah konkret yang diambil adalah pertemuan langsung dengan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa. Dalam pertemuan yang berlangsung baru-baru ini, Khofifah menyampaikan kekhawatiran mendalam mengenai implikasi dari pemotongan dana transfer ini terhadap stabilitas fiskal daerah dan kemampuan pemerintah provinsi dalam menjalankan roda pembangunan. Gubernur Khofifah tidak hanya menyampaikan keluhan, melainkan juga mengusulkan solusi strategis untuk mereduksi dampak negatif dari pemotongan anggaran tersebut.

Opsi yang diajukan oleh Gubernur Khofifah adalah menaikkan persentase Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang diterima oleh daerah, khususnya Jawa Timur. Saat ini, DBHCHT dialokasikan sebesar 3 persen dari total penerimaan cukai hasil tembakau. Khofifah secara tegas meminta agar persentase ini dapat ditingkatkan secara signifikan menjadi 10 persen. "Jadi dana bagi hasil cukai dan industri. Jadi tembakau, saya minta jangan 3 persen, Pak, kasih kami 10 persen. Jadi andai misalnya dana transfer daerahnya itu berkurang, tapi DBHCHT kami dinaikkan dari 3 persen menjadi 10 persen," ungkap Khofifah pada Rabu (8/10/2025) dalam sebuah kesempatan yang diselenggarakan di Blitar. Usulan ini mencerminkan upaya proaktif dari pemerintah provinsi untuk mencari alternatif sumber pembiayaan di tengah tekanan fiskal dari pusat.

Menurut Gubernur Khofifah, kenaikan persentase DBHCHT ini bukan sekadar permintaan, melainkan sebuah solusi konkret dan relevan untuk mengatasi permasalahan berkurangnya anggaran akibat pemotongan dana transfer pusat. Dengan peningkatan porsi DBHCHT menjadi 10 persen, diharapkan dampak dari pemotongan dana transfer daerah sebesar Rp2,8 triliun tersebut dapat direduksi secara signifikan. Peningkatan alokasi ini akan memberikan fleksibilitas anggaran yang lebih besar bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Jawa Timur untuk melanjutkan program-program prioritas mereka tanpa harus merasakan dampak yang terlalu parah dari pemangkasan dana pusat.

"Itu ya kira-kira untuk bisa memenuhi kebutuhan kekuatan kota relatif ya, masih bisa tercover, kira-kira begitu," imbuh Khofifah, menjelaskan bahwa tambahan dana dari DBHCHT ini diharapkan mampu menopang kebutuhan operasional dan pembangunan di tingkat kota dan kabupaten. Kebutuhan ini mencakup berbagai sektor mulai dari infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat. Tanpa adanya sumber dana pengganti, pemotongan DTD yang besar akan sangat membebani APBD, berpotensi menunda proyek-proyek vital, bahkan mengganggu pelayanan dasar kepada masyarakat.

Jawa Timur memiliki posisi yang sangat strategis dalam konteks DBHCHT. Provinsi ini merupakan sentra industri tembakau terbesar di Indonesia, dengan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan cukai negara. Pada tahun 2025 ini saja, Provinsi Jawa Timur menerima alokasi DBHCHT sebesar Rp3,57 triliun. Angka ini menjadikan Jawa Timur sebagai provinsi dengan porsi DBHCHT terbesar di Indonesia. Besarnya alokasi ini bukan tanpa alasan, melainkan karena Jawa Timur memiliki jumlah pabrik rokok, petani tembakau, dan pekerja di sektor industri hasil tembakau yang sangat dominan. Oleh karena itu, usulan kenaikan persentase DBHCHT menjadi 10 persen dianggap sebagai langkah yang adil dan proporsional, mengingat kontribusi besar Jawa Timur terhadap penerimaan cukai negara.

Lebih lanjut, Gubernur Khofifah menyampaikan bahwa pertemuan dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berlangsung dalam suasana yang sangat terbuka dan konstruktif. "Kita diskusi sangat terbuka, santai, dan beliau menurut saya, berkenan mendengarkan apa yang kita sampaikan," pungkas Khofifah. Respons positif dari Menteri Keuangan ini memberikan harapan bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Selain itu, Gubernur Khofifah juga menyampaikan rasa syukurnya karena Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) turut diundang dalam diskusi tersebut. Keterlibatan APPSI menunjukkan bahwa masalah pemotongan dana transfer daerah ini bukan hanya menjadi perhatian Jawa Timur, melainkan juga provinsi-provinsi lain di seluruh Indonesia, sehingga solusi yang dicari diharapkan dapat bersifat komprehensif dan mengakomodir kepentingan daerah secara umum.

Pemotongan dana transfer pusat ini sejatinya merupakan bagian dari dinamika pengelolaan fiskal nasional yang kompleks. Pemerintah pusat seringkali dihadapkan pada tekanan untuk menyeimbangkan anggaran negara, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global dan kebutuhan pembiayaan proyek-proyek strategis nasional. Dana Transfer Umum (DTU) dan Dana Transfer Khusus (DTK) merupakan tulang punggung pembiayaan pembangunan di daerah. DTU, yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) lainnya, berfungsi untuk pemerataan kemampuan fiskal antar daerah. Sementara itu, DTK, seperti Dana Alokasi Khusus (DAK), ditujukan untuk mendanai kegiatan spesifik dengan tujuan nasional. Pemangkasan DTD secara keseluruhan, seperti yang dialami Jawa Timur, akan secara langsung mengurangi kapasitas fiskal daerah untuk mengimplementasikan kebijakan dan program pembangunan.

Implikasi dari pemotongan anggaran sebesar Rp2,8 triliun ini tidak bisa diremehkan. Jawa Timur, sebagai salah satu provinsi dengan kontribusi ekonomi terbesar di Indonesia, memiliki kebutuhan pembangunan yang sangat tinggi. Anggaran tersebut biasanya dialokasikan untuk berbagai sektor krusial, mulai dari pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan, jembatan, dan irigasi, peningkatan kualitas layanan pendidikan dan kesehatan, hingga program-program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan UMKM. Dengan dana yang berkurang, beberapa proyek strategis yang telah direncanakan mungkin harus ditunda, atau bahkan dibatalkan. Ini berpotensi memperlambat laju pertumbuhan ekonomi regional dan mengurangi kualitas pelayanan publik yang diterima masyarakat.

Di sisi lain, DBHCHT memiliki tujuan yang jelas dan spesifik berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dana ini dialokasikan untuk membiayai lima program utama: peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, pemberantasan barang kena cukai ilegal, dan program atau kegiatan lain yang berkaitan dengan kesehatan. Dengan kontribusi signifikan industri tembakau di Jawa Timur, peningkatan porsi DBHCHT tidak hanya akan membantu menutupi defisit anggaran, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk program-program kesehatan masyarakat yang relevan, mengingat dampak kesehatan dari konsumsi tembakau. Selain itu, dana ini juga bisa dipergunakan untuk pembinaan petani tembakau, peningkatan kualitas produk, serta upaya-upaya penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal yang merugikan negara dan industri legal.

Kenaikan DBHCHT menjadi 10 persen juga dapat menjadi preseden penting bagi provinsi-provinsi lain yang memiliki industri hasil tembakau yang signifikan. Ini akan memperkuat argumen mengenai pentingnya otonomi fiskal daerah, di mana daerah penghasil sumber daya memiliki hak yang lebih besar untuk menikmati hasil dari kontribusi mereka kepada negara. Namun, wacana ini juga perlu diimbangi dengan pertimbangan keadilan antar daerah dan kemampuan fiskal nasional secara keseluruhan. Pemerintah pusat tentu memiliki pertimbangan makroekonomi dalam setiap keputusan pemotongan anggaran, yang mungkin didasari oleh proyeksi pendapatan negara yang tidak sesuai harapan atau kebutuhan mendesak untuk alokasi di sektor lain.

Peran APPSI dalam advokasi ini menjadi sangat vital. Dengan bersatunya suara pemerintah provinsi, tekanan terhadap pemerintah pusat untuk mempertimbangkan kembali kebijakan fiskal yang berpotensi merugikan daerah akan semakin kuat. Diskusi yang melibatkan APPSI juga membuka peluang untuk mencari solusi yang lebih holistik, tidak hanya untuk Jawa Timur, tetapi untuk seluruh daerah di Indonesia yang menghadapi tantangan serupa. Ini bisa berarti peninjauan ulang formula dana transfer, peningkatan fleksibilitas penggunaan anggaran daerah, atau pencarian sumber-sumber pendapatan daerah yang inovatif.

Langkah selanjutnya setelah pertemuan dengan Menteri Keuangan ini adalah menunggu respons resmi dari pemerintah pusat. Usulan Gubernur Khofifah kemungkinan besar akan melalui kajian mendalam di Kementerian Keuangan, melibatkan berbagai direktorat jenderal terkait, sebelum diambil keputusan. Jika usulan ini diterima, perubahan persentase DBHCHT akan memerlukan perubahan regulasi, bisa berupa Peraturan Pemerintah atau bahkan revisi undang-undang terkait perimbangan keuangan pusat dan daerah. Proses ini tentu tidak instan, namun sinyal positif dari Menteri Keuangan memberikan secercah harapan. Pemerintah Provinsi Jawa Timur akan terus mengawal proses ini dengan cermat, memastikan bahwa kepentingan masyarakat Jawa Timur tetap menjadi prioritas utama di tengah dinamika kebijakan fiskal nasional.

(owi/beq)

Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id

Exit mobile version