Korupsi BKKD Padangan: Jebakan Hukum dan Hilangnya Kekayaan Kasatpol PP Bojonegoro, Heru Sugiharto, Senilai Rp2,4 Miliar

Kabar mengejutkan mengguncang jagat pemerintahan Kabupaten Bojonegoro. Heru Sugiharto, sosok yang dikenal sebagai Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Bojonegoro, kini harus berhadapan dengan jerat hukum setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) di Kecamatan Padangan. Ironisnya, penetapan status hukum ini datang bersamaan dengan terungkapnya fakta mencengangkan mengenai kondisi harta kekayaannya yang mengalami penyusutan drastis, lebih dari Rp2,4 miliar, dalam rentang waktu tiga tahun terakhir. Penurunan signifikan ini, mencapai sekitar 52 persen dari total kekayaannya sebelum menduduki jabatan Kasatpol PP, memunculkan berbagai spekulasi dan pertanyaan di tengah masyarakat.

Penetapan Heru Sugiharto sebagai tersangka dalam kasus BKKD Padangan oleh Polda Jawa Timur pada Kamis, 9 Oktober 2025, menandai babak baru dalam upaya penegakan hukum terhadap praktik korupsi di daerah. Konfirmasi ini disampaikan langsung oleh Kasubdit III Tipikor Ditreskrimsus Polda Jatim, AKBP Dewa Putu Prima Yogantara Parsana, pada Jumat, 10 Oktober 2025. Menurut AKBP Dewa, Heru diduga kuat terlibat dalam praktik penyimpangan dana BKKD saat masih menjabat sebagai Camat Padangan. Peran sentral Heru dalam kasus ini adalah memperkenalkan penyedia barang dan jasa kepada desa-desa penerima bantuan, sebuah tindakan yang membuka celah bagi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Lebih jauh, ia juga dituding menandatangani pengajuan anggaran tanpa adanya dokumen Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) yang lengkap dan valid, sebuah kelalaian prosedural fatal yang menjadi pintu gerbang terjadinya penyalahgunaan dana.

Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) sendiri merupakan program strategis pemerintah daerah untuk mengakselerasi pembangunan di tingkat desa, khususnya dalam bidang infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat. Di Kecamatan Padangan, BKKD tahun anggaran 2021 seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan desa-desa setempat. Namun, alih-alih memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat, dana tersebut justru diduga diselewengkan. Berdasarkan hasil audit penyidik, kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus ini mencapai angka fantastis, yaitu Rp1,69 miliar. Jumlah ini tentu sangat besar dan berpotensi menghambat berbagai proyek vital yang seharusnya bisa meningkatkan kualitas hidup warga desa di Padangan.

Keterlibatan Heru Sugiharto dalam pusaran korupsi ini menjadi sorotan tajam, mengingat posisinya sebagai pejabat publik yang seharusnya menjunjung tinggi integritas. Sebelum menjabat sebagai Kasatpol PP, Heru sempat menduduki posisi strategis sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Bojonegoro. Perjalanan karirnya yang cemerlang kini tercoreng oleh dugaan tindak pidana korupsi yang tak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap birokrasi.

Tak hanya status tersangkanya yang menjadi perhatian, namun juga laporan harta kekayaan Heru Sugiharto yang terpantau melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diakses dari laman resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data LHKPN menjadi instrumen penting dalam upaya transparansi dan pencegahan korupsi, yang mewajibkan setiap pejabat negara untuk melaporkan seluruh aset dan kewajibannya secara berkala. Dari data tersebut, terkuak bahwa total kekayaan Heru menunjukkan tren penurunan yang sangat mencolok dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2022, saat masih menjabat di DP3AKB, kekayaannya tercatat sebesar Rp4,61 miliar. Mayoritas kekayaan tersebut berasal dari aset tanah dan bangunan senilai Rp4,13 miliar, mencerminkan kepemilikan properti yang signifikan.

Namun, memasuki tahun 2023, nilai kekayaannya anjlok drastis menjadi Rp2,54 miliar. Penurunan ini berlanjut pada tahun 2024, di mana kekayaannya kembali menyusut hingga menyentuh angka Rp2,17 miliar. Secara kumulatif, penurunan ini mencapai lebih dari Rp2,4 miliar dalam kurun waktu tiga tahun, atau setara dengan 52 persen dari kekayaan awalnya. Angka ini tentu bukan jumlah yang kecil dan memunculkan pertanyaan besar mengenai apa yang menjadi penyebab di balik anjloknya harta seorang pejabat publik.

Analisis lebih lanjut terhadap LHKPN mengungkapkan bahwa penurunan paling drastis terjadi pada aset tak bergerak, yaitu tanah dan bangunan. Nilai aset ini merosot hingga Rp2,1 miliar atau 51 persen dalam dua tahun terakhir, dari Rp4,13 miliar pada tahun 2022 menjadi Rp2,02 miliar pada tahun 2024. Penurunan sebesar ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pelepasan aset (penjualan), hibah kepada pihak lain, atau pembaruan nilai aset berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang lebih rendah. Namun, dalam konteks seorang pejabat yang tengah diselidiki atas dugaan korupsi, kemungkinan-kemungkinan ini tentu akan menjadi bahan kajian mendalam bagi penyidik untuk memastikan tidak ada upaya penyembunyian atau pengalihan aset.

Selain aset tanah dan bangunan, LHKPN juga mencatat adanya peningkatan utang Heru Sugiharto hingga Rp350 juta. Kenaikan utang ini, bersamaan dengan penurunan aset, bisa menjadi indikasi adanya tekanan finansial atau kebutuhan dana yang mendesak. Sementara itu, kas dan tabungan pribadi Heru juga mengalami penurunan signifikan, hampir separuh, dari Rp300 juta menjadi Rp150 juta. Penurunan ini dapat diinterpretasikan sebagai penggunaan dana pribadi untuk berbagai keperluan, termasuk kemungkinan biaya-biaya hukum atau operasional yang tidak terduga, atau bahkan sebagai upaya untuk menutupi kekurangan finansial lainnya.

Aset kendaraan juga tidak luput dari penyusutan, meskipun pada laporan tahun 2024 muncul tambahan aset baru berupa sepeda motor Honda Scoopy. Kehadiran aset kendaraan baru yang relatif kecil di tengah penurunan drastis aset lainnya juga menjadi poin menarik yang mungkin memerlukan klarifikasi lebih lanjut dari yang bersangkutan. Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah penurunan kekayaan ini merupakan konsekuensi langsung dari kasus korupsi yang menjeratnya, ataukah ada faktor-faktor lain yang memengaruhinya. Penyidik tentu akan menyelidiki korelasi antara penurunan aset ini dengan dugaan tindak pidana yang dilakukannya, termasuk kemungkinan adanya aset yang disembunyikan atau dialihkan sebelum penyelidikan dimulai.

Kasus korupsi BKKD di Padangan ini sendiri pertama kali terungkap ke publik pada tahun 2023 dan telah menyeret beberapa pihak. Jaringan korupsi ini menunjukkan kompleksitas dan keterlibatan berbagai aktor dalam penyalahgunaan dana publik. Kontraktor pelaksana, Bambang Soedjatmiko, telah lebih dulu divonis 7 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Surabaya, sebuah putusan yang menegaskan adanya praktik korupsi dalam proyek tersebut. Selain itu, empat kepala desa di Kecamatan Padangan juga ikut terseret dalam pusaran kasus ini dan masing-masing dituntut hukuman 5 tahun penjara. Mereka adalah Wasito (Kades Tebon), Supriyanto (Kades Dengok), Sakri (Kades Purworejo), dan Mohammad Syaifudin (Kades Kuncen). Keterlibatan mereka menunjukkan bahwa praktik penyalahgunaan dana BKKD ini melibatkan kolaborasi antara pejabat kecamatan, kontraktor, dan kepala desa, membentuk sebuah mata rantai korupsi yang merugikan masyarakat.

Penetapan Heru Sugiharto sebagai tersangka menambah daftar panjang pejabat yang tersandung kasus korupsi di Indonesia. Ini sekaligus menjadi pengingat keras akan pentingnya integritas dan akuntabilitas dalam setiap jabatan publik. Publik Bojonegoro kini menantikan proses hukum yang transparan dan adil untuk mengungkap kebenaran di balik dugaan korupsi BKKD Padangan serta misteri di balik anjloknya harta kekayaan Heru Sugiharto. Kasus ini diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku korupsi lainnya dan memperkuat komitmen pemerintah daerah serta aparat penegak hukum dalam memberantas praktik rasuah demi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas.

Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id

Exit mobile version