Sidang Mafia Tanah di PN Gresik Ungkap Peran Budi dalam Pemalsuan SHM

Fenomena mafia tanah telah menjadi isu krusial di Indonesia, merenggut hak-hak properti masyarakat dan menciptakan ketidakpastian hukum yang mendalam. Modus operandinya bervariasi, mulai dari pemalsuan dokumen, penyerobotan lahan, hingga kolusi dengan oknum di lembaga pemerintahan. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sendiri telah menyatakan perang terhadap mafia tanah, mengakui bahwa sindikat ini seringkali melibatkan pihak internal yang memahami seluk-beluk administrasi pertanahan. Kasus di Gresik ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh nyata betapa rentannya sistem administrasi pertanahan terhadap penyalahgunaan wewenang dan niat jahat. Tanah, sebagai aset yang sangat berharga dan seringkali merupakan satu-satunya jaminan masa depan bagi keluarga, seringkali menjadi sasaran empuk bagi para pelaku kejahatan ini, menimbulkan kerugian finansial yang tidak sedikit serta trauma psikologis yang mendalam bagi para korbannya.

Pada agenda persidangan yang krusial itu, dua terdakwa, Resa Andrianto dan Adhienata Putra Deva, dihadirkan sebagai saksi di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Sarudi. Kesaksian mereka diharapkan dapat menguak lebih jauh detail kejahatan dan peran masing-masing individu dalam jaringan ini, serta memberikan gambaran utuh mengenai bagaimana skema penipuan ini dijalankan. Resa Andrianto, yang ironisnya adalah anak kandung dari Budi Riyanto, memberikan keterangan yang cukup mengejutkan di ruang sidang yang penuh perhatian. Ia mengungkapkan bahwa dirinya baru menyadari adanya masalah serius dengan berkas pengurusan SHM tersebut setelah dipanggil dan diperiksa secara intensif oleh penyidik pada bulan Desember 2024. Saat itulah ia ditetapkan sebagai tersangka, sebuah fakta yang menunjukkan betapa rapihnya Budi menyembunyikan kejahatannya dari orang terdekatnya sekalipun, atau setidaknya, berusaha mengklaim demikian.

"Saya baru mengetahui berkas tersebut bermasalah ketika diperiksa penyidik pada Desember 2024. Saat itu juga saya ditetapkan sebagai tersangka," ujar Resa di hadapan majelis hakim, suaranya terdengar penuh penyesalan namun juga berusaha membela diri dari tuduhan yang menjeratnya. Lebih lanjut, Resa menjelaskan bahwa ayahnya, Budi Riyanto, meskipun telah purna tugas dari jabatannya sebagai pegawai BPN Gresik, masih aktif dan sering terlibat dalam pengurusan Sertifikat Hak Milik atas nama berbagai pemohon. Pengalaman dan jaringan yang dimiliki Budi selama bertahun-tahun di BPN diduga menjadi modal utamanya dalam melancarkan aksi kejahatan ini, memanfaatkan celah dan kelemahan sistem yang ia pahami betul. Namun, Resa dengan tegas membantah keterlibatannya dalam penandatanganan dokumen permohonan yang bermasalah tersebut. Ia mengklaim bahwa pada saat dokumen-dokumen itu dipalsukan, dirinya sedang menjalani perawatan medis intensif di rumah sakit. "Saat itu saya sedang menjalani perawatan di rumah sakit, bisa dipastikan semuanya persyaratan sudah dipalsukan," ungkapnya, mencoba meyakinkan hakim bahwa ia adalah korban manipulasi ayahnya sendiri, bukan pelaku aktif.

Pengakuan Resa tidak berhenti di situ. Ia juga menyinggung seringnya terjadi ketegangan antara dirinya dengan Budi terkait urusan pekerjaan, terutama yang berkaitan dengan pengurusan dokumen tanah. Status Resa sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ternyata kerap dimanfaatkan oleh Budi untuk kepentingan pribadi dan melancarkan skema ilegalnya, yang pada akhirnya menyeret Resa ke dalam pusaran kasus hukum yang rumit ini. Ini mengindikasikan adanya eksploitasi jabatan profesional dan hubungan keluarga untuk melancarkan skema kejahatan yang terorganisir. PPAT memiliki peran vital dan strategis dalam proses peralihan hak atas tanah, dan penyalahgunaan wewenang ini dapat merusak integritas sistem pertanahan secara keseluruhan serta merugikan masyarakat. Konflik internal ini menambah dimensi dramatis pada kasus ini, menunjukkan bahwa jaringan mafia tanah tidak hanya beroperasi secara eksternal, tetapi juga dapat merusak ikatan keluarga demi keuntungan finansial yang instan.

Ketua Majelis Hakim Sarudi, yang dikenal dengan ketegasannya dalam memimpin persidangan, tidak tinggal diam setelah mendengarkan keterangan Resa. Dengan cermat dan teliti, Hakim Sarudi memeriksa tanda tangan terdakwa yang tertera dalam berkas permohonan sertifikat yang dipersoalkan. Hasilnya, ditemukan perbedaan yang sangat mencolok dan signifikan antara tanda tangan Resa yang ada dalam dokumen permohonan dengan tanda tangan asli yang dikenalnya. Perbedaan ini menjadi bukti fisik yang kuat atas adanya pemalsuan. "Fakta ini bisa menjadi pertimbangan terdakwa dalam mengajukan pledoi pembelaan," jelas Hakim Sarudi, memberikan secercah harapan bagi Resa untuk membuktikan bahwa ia mungkin hanya korban dari manipulasi atau pemalsuan identitas, bukan pelaku utama. Temuan ini adalah bukti konkret adanya pemalsuan dokumen yang menjadi inti dari kasus mafia tanah ini, mengindikasikan bahwa Budi Riyanto memang beroperasi dengan cara yang licik dan sistematis.

Lebih lanjut, Hakim Sarudi juga menyoroti kejanggalan lain yang sangat mencurigakan dan menimbulkan banyak pertanyaan: proses permohonan sertifikat yang dilakukan oleh Budi Riyanto dapat diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat, jauh di luar prosedur normal dan waktu standar yang berlaku di BPN. Kecepatan luar biasa ini menimbulkan dugaan kuat adanya pihak lain yang terlibat di dalam internal BPN Gresik, yang memungkinkan proses ilegal ini berjalan mulus tanpa hambatan berarti. "Kami segera menjadwalkan ulang permohonan saksi ahli dari JPU pada pekan depan. Harap bisa dipastikan untuk hadir agar perkara bisa diputuskan," imbuh Sarudi, menekankan pentingnya kehadiran saksi ahli, seperti ahli forensik dokumen atau ahli hukum pertanahan, untuk mengurai benang kusut kasus ini dan memberikan perspektif teknis yang mendalam serta objektif. Keterlibatan oknum internal BPN akan menjadi titik krusial dalam pembuktian kasus ini, karena mereka adalah kunci untuk memahami bagaimana prosedur dapat dilewati atau dipercepat secara ilegal.

Kerugian yang dialami Tjong Cien Sing, pemilik sah tanah, tidak hanya bersifat materiil namun juga imateriil. Tanah yang seharusnya menjadi hak miliknya, tiba-tiba dipertanyakan keabsahannya karena ulah mafia tanah yang terorganisir. Ketidakpastian hukum ini menimbulkan beban psikologis yang berat, ditambah dengan biaya dan waktu yang tidak sedikit yang harus dikorbankan untuk memperjuangkan kembali haknya di pengadilan. Kasus ini merupakan cerminan betapa rentannya masyarakat biasa terhadap praktik-praktik ilegal yang dilakukan oleh sindikat terorganisir, apalagi jika melibatkan mantan pejabat yang menguasai seluk-beluk birokrasi dan jaringan internal. Hilangnya rasa aman dan kepercayaan terhadap institusi pertanahan adalah dampak jangka panjang yang seringkali diabaikan, namun sangat fundamental bagi stabilitas sosial dan ekonomi.

Para pelaku dalam kasus mafia tanah ini dapat dijerat dengan berbagai pasal hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk namun tidak terbatas pada, Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pemalsuan Surat, Pasal 264 KUHP tentang Pemalsuan Akta Otentik, serta Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan. Selain itu, jika terbukti ada unsur perencanaan dan keterlibatan jaringan terorganisir yang kuat, maka para pelaku juga dapat dijerat dengan undang-undang khusus tentang pemberantasan tindak pidana korupsi atau tindak pidana pencucian uang, terutama jika nilai kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan melibatkan aset yang signifikan. Ancaman hukuman untuk kejahatan-kejahatan ini bervariasi, mulai dari beberapa tahun penjara hingga belasan tahun, tergantung pada peran, tingkat keterlibatan, dan dampak kerugian yang ditimbulkan oleh masing-masing pelaku.

Penyelidikan kasus ini oleh pihak kepolisian dan kejaksaan menunjukkan komitmen aparat penegak hukum dalam memerangi kejahatan agraria yang semakin merajalela. Proses penelusuran bukti, pemeriksaan saksi, hingga penetapan tersangka, termasuk Budi Riyanto sebagai DPO, membutuhkan waktu, sumber daya, dan ketelitian yang tinggi. Tantangan utama seringkali terletak pada pembuktian niat jahat dan koordinasi antarpihak yang terlibat dalam sindikat yang bekerja secara rapi. Kejaksaan Penuntut Umum (JPU) dalam kasus ini dituntut untuk menyajikan bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan, termasuk kesaksian ahli, untuk memastikan bahwa keadilan dapat ditegakkan dan para pelaku menerima hukuman setimpal sesuai dengan perbuatan mereka. Upaya pencarian Budi Riyanto sebagai DPO juga terus dilakukan secara intensif, mengingat perannya yang dianggap sebagai dalang utama dan kunci untuk mengungkap seluruh jaringan serta modus operandi yang lebih luas. Keberhasilan menangkap Budi akan menjadi kunci untuk mengungkap seluruh jaringan dan modus operandi yang lebih luas.

Kasus ini bukan hanya menjadi sorotan lokal di Gresik, tetapi juga menyita perhatian publik secara nasional, kembali mengingatkan akan urgensi reformasi agraria dan penguatan integritas di tubuh lembaga pertanahan. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem administrasi tanah akan sangat bergantung pada bagaimana kasus-kasus semacam ini ditangani secara tuntas dan transparan, tanpa pandang bulu. Peristiwa ini mengungkapkan bukan hanya tentang manipulasi dokumen semata, namun juga menunjukkan potensi adanya kolaborasi dengan oknum dalam internal BPN Gresik, yang memungkinkan proses pengurusan sertifikat tanah bisa berlangsung dengan sangat cepat dan lancar, meskipun ada kejanggalan yang jelas dalam persyaratannya. Hal ini menuntut adanya evaluasi menyeluruh terhadap standar operasional prosedur (SOP) di BPN, peningkatan pengawasan internal yang lebih ketat, serta penegakan kode etik yang lebih ketat bagi seluruh pegawainya, baik yang masih aktif maupun yang sudah purna tugas, untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.

Dengan jadwal permohonan saksi ahli dari JPU yang akan dilaksanakan pada pekan depan, persidangan ini diharapkan dapat segera memasuki babak akhir yang menentukan. Kehadiran saksi ahli, seperti ahli forensik dokumen atau ahli hukum pertanahan, akan sangat krusial dalam memberikan kejelasan teknis mengenai pemalsuan tanda tangan dan legalitas prosedur pengurusan SHM yang bermasalah. Putusan hakim dalam kasus ini akan menjadi preseden penting dalam upaya pemberantasan mafia tanah di Indonesia. Diharapkan putusan yang adil dan tegas dapat memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan agraria lainnya, sekaligus mengembalikan hak-hak pemilik tanah yang dirampas secara tidak sah. Komitmen untuk memberantas mafia tanah harus terus digalakkan, demi terciptanya kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia, memastikan bahwa setiap warga negara dapat hidup dengan tenang tanpa khawatir kehilangan aset berharga mereka akibat ulah para penipu dan sindikat.

Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita Rakyat Independen

Exit mobile version