Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, mengeluarkan kecaman keras terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas penerbitan Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025. Regulasi kontroversial ini dinilai sebagai pukulan telak bagi prinsip-prinsip demokrasi dan transparansi yang selama ini diperjuangkan, mengingat keputusan tersebut secara efektif menutup akses publik terhadap dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk jangka waktu lima tahun. Langkah ini, menurut Neni, bukan sekadar kekeliruan administratif atau teknis, melainkan sebuah kemunduran fundamental yang berpotensi membahayakan integritas proses demokrasi di Indonesia.
Keputusan KPU tersebut secara drastis mengubah praktik sebelumnya yang memungkinkan masyarakat luas untuk meninjau berbagai dokumen penting terkait calon pemimpin negara. Dokumen-dokumen krusial seperti daftar riwayat hidup (curriculum vitae), profil singkat, rekam jejak, laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), serta surat keterangan lain yang merupakan indikator penting integritas dan kapasitas seorang calon, kini dikunci rapat dari pandangan publik. Penutupan akses ini secara langsung menghambat hak konstitusional masyarakat untuk memperoleh informasi, yang merupakan pilar utama dalam membangun partisipasi publik yang cerdas dan terinformasi.
Neni Nur Hayati menegaskan bahwa KPU tidak bisa berlindung di balik dalih perlindungan data pribadi untuk membenarkan penutupan dokumen-dokumen yang sejatinya bersifat publik dan sangat krusial bagi evaluasi calon pemimpin. Ia menyoroti perbedaan esensial antara data pribadi yang memang harus dilindungi dan informasi publik yang wajib dibuka, terutama bagi individu yang mencalonkan diri untuk jabatan publik setinggi presiden dan wakil presiden. "Menutupnya berarti mengunci hak rakyat untuk tahu dan melemahkan akuntabilitas pemilu," tegas Neni. Hak untuk tahu adalah fondasi dari demokrasi yang sehat, memungkinkan warga negara membuat pilihan yang rasional dan bertanggung jawab berdasarkan informasi yang lengkap dan akurat. Ketika informasi ini dibatasi, proses pengambilan keputusan politik menjadi kabur, rentan terhadap manipulasi, dan jauh dari prinsip transparansi.
Lebih lanjut, Neni menyoroti bahwa keputusan KPU ini bertentangan secara diametral dengan semangat dan substansi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Undang-undang ini secara eksplisit menjamin hak setiap orang untuk memperoleh informasi serta mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang transparan. UU KIP dirancang untuk memastikan bahwa badan-badan publik bertanggung jawab kepada rakyat, dan transparansi adalah mekanisme utama untuk mencapai akuntabilitas tersebut. Dengan menutup akses terhadap dokumen calon presiden dan wakil presiden, KPU secara tidak langsung mengabaikan mandat UU KIP dan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi penyelenggara pemilu.
Direktur DEEP Indonesia ini juga menekankan bahwa KPU sebagai lembaga publik memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menjunjung tinggi integritas dan independensi. "KPU adalah lembaga publik yang harus berintegritas, jangan sampai menjadi alat penguasa untuk kepentingan politik pragmatis," serunya. Pernyataan ini mengandung peringatan serius tentang potensi penyalahgunaan wewenang atau intervensi politik yang dapat merusak kredibilitas KPU. Dalam konteks ini, integritas KPU tidak hanya diukur dari kemampuannya menyelenggarakan pemilu secara teknis, tetapi juga dari komitmennya terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang lebih luas, termasuk transparansi dan akuntabilitas. Apabila KPU dianggap tidak transparan, persepsi publik dapat bergeser, dan legitimasi hasil pemilu pun bisa dipertanyakan.
Neni menggarisbawahi paradoks dalam kebijakan KPU ini. Ia berargumen bahwa jika dokumen-dokumen partai politik saja bisa dibuka ke publik saat pendaftaran, seharusnya calon presiden dan wakil presiden, sebagai representasi tertinggi dari partai atau gabungan partai, tunduk pada standar keterbukaan yang sama, bahkan lebih tinggi. Logika di balik keterbukaan dokumen partai politik adalah untuk memastikan bahwa entitas yang berpartisipasi dalam pemilu memenuhi persyaratan hukum dan etika. Standar ini seharusnya berlaku secara konsisten, bahkan lebih ketat, untuk individu yang akan memimpin negara.
Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 ini tidak hanya bermasalah dari segi hukum dan etika, tetapi juga memiliki implikasi politik yang sangat berbahaya. Penutupan akses informasi dapat menciptakan "ruang gelap" dalam proses pemilu, di mana masyarakat tidak memiliki cukup data untuk menilai rekam jejak, kapasitas, dan potensi konflik kepentingan para calon. Ini dapat membuka peluang bagi calon dengan latar belakang yang kurang bersih atau agenda tersembunyi untuk lolos dari pengawasan publik. Tanpa informasi yang memadai, pemilih akan kesulitan membuat keputusan yang benar-benar berdasarkan kualitas calon, bukan semata-mata berdasarkan citra yang dibangun atau kampanye politik yang superfisial.
DEEP Indonesia secara resmi menyatakan sikap tegasnya terkait keputusan yang meresahkan ini, antara lain:
- Mengecam Keras Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025: DEEP Indonesia mengutuk keras kebijakan KPU yang dianggap anti-transparansi dan mereduksi hak konstitusional masyarakat untuk memperoleh informasi. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah mundur signifikan bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia.
- Menegaskan Hak Publik untuk Tahu: DEEP Indonesia mengingatkan kembali bahwa akses terhadap informasi calon pejabat publik, terutama presiden dan wakil presiden, adalah hak fundamental warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan UU KIP. Informasi ini esensial untuk memungkinkan pemilih membuat keputusan yang terinformasi dan bertanggung jawab.
- Mendesak KPU untuk Menjunjung Tinggi Integritas dan Independensi: DEEP Indonesia menyerukan KPU untuk tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip integritas, objektivitas, dan independensi sebagai penyelenggara pemilu. KPU tidak boleh tunduk pada tekanan atau kepentingan politik tertentu yang dapat mengorbankan transparansi dan akuntabilitas publik.
- Menuntut Pencabutan Segera Regulasi Kontroversial: DEEP Indonesia mendesak KPU untuk segera mencabut Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 tanpa penundaan. Pencabutan ini adalah langkah pertama yang krusial untuk mengembalikan kepercayaan publik dan menegaskan komitmen KPU terhadap transparansi.
- Menganjurkan Pembentukan Regulasi yang Lebih Seimbang: Sebagai solusi konstruktif, DEEP Indonesia mengusulkan agar KPU mengganti regulasi yang ada dengan kebijakan baru yang lebih seimbang. Regulasi ini harus mampu melindungi data pribadi yang bersifat sensitif tanpa mengorbankan informasi penting yang berkaitan dengan integritas, rekam jejak, dan kualifikasi calon presiden dan wakil presiden. Keseimbangan ini penting untuk memastikan bahwa privasi individu tetap terjaga, namun kepentingan publik untuk mengetahui rekam jejak calon pemimpin tetap terpenuhi.
Neni Nur Hayati menutup pernyataannya dengan penekanan pada esensi demokrasi. "Demokrasi hanya bisa tumbuh dengan transparansi, bukan menjadi ruang gelap dalam pemilu," tegasnya. Pernyataan ini merupakan seruan untuk kembali ke prinsip dasar bahwa cahaya adalah elemen vital bagi kehidupan demokrasi. Tanpa transparansi, proses politik akan menjadi buram, rentan terhadap manipulasi, dan pada akhirnya akan mengikis fondasi kepercayaan publik yang menjadi penopang utama sistem pemerintahan demokratis. Keputusan KPU ini, jika tidak segera direvisi, berpotensi meninggalkan warisan berupa keraguan dan ketidakpercayaan dalam setiap pemilihan umum yang akan datang, sebuah risiko yang terlalu besar untuk diambil oleh bangsa yang tengah berjuang memperkuat demokrasinya. Maka, tekanan dari DEEP Indonesia dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya menjadi sangat penting untuk memastikan KPU menjalankan tugasnya sesuai amanat konstitusi dan harapan rakyat.
Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id