Banjir lahar dingin yang menerjang aliran Sungai Regoyo di Desa Gondoruso, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, baru-baru ini memicu kewaspadaan tinggi setelah tercium bau belerang yang menyengat di sepanjang alirannya. Fenomena ini bukan sekadar indikator bencana alam biasa, melainkan sebuah sinyal kuat dari aktivitas vulkanik Gunung Semeru yang kian intens, sebagaimana dilaporkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Deteksi getaran banjir lahar dengan amplitudo maksimal (Amak) mencapai 38 milimeter menegaskan bahwa kekuatan dan volume material yang terbawa arus memiliki potensi dampak yang signifikan.
Pantauan langsung di lokasi kejadian, khususnya di Sungai Regoyo Desa Gondoruso, menggambarkan pemandangan yang mengkhawatirkan. Aliran lahar dingin tampak meluap hingga menutup akses jalan warga, mengubah lanskap sungai menjadi hamparan lumpur cokelat pekat yang tebal. Di tengah kepungan material vulkanik tersebut, aroma khas belerang yang menyengat menusuk hidung, menambah ketegangan di antara warga dan petugas. Bau belerang ini, menurut Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang, Isnugroho, kemungkinan besar berasal dari material vulkanik Gunung Semeru yang bereaksi dengan air hujan saat terjadi peningkatan aktivitas di kawah Jonggring Saloko. "Iya (bau belerang), ini kemungkinan karena adanya aktivitas vulkanis di Gunung Semeru ya," terang Isnugroho saat memantau dampak banjir lahar tersebut. Pernyataan ini sekaligus menjadi penekanan bahwa kejadian ini bukan hanya akibat curah hujan tinggi semata, melainkan manifestasi langsung dari dinamika internal gunung api.
Lebih lanjut, Isnugroho menjelaskan bahwa berdasarkan laporan dari petugas Pos Pantau Gunung Api (PPGA), aktivitas vulkanik Gunung Semeru memang menunjukkan tren peningkatan yang konsisten dalam beberapa waktu terakhir. Data seismik dan visual yang dikumpulkan oleh PPGA menjadi dasar utama dalam memahami perubahan perilaku gunung. Salah satu indikator paling krusial dari peningkatan aktivitas ini adalah pembentukan kubah lava baru di puncak Semeru. Kubah lava adalah gundukan material pijar yang terbentuk di kawah gunung api, hasil dari ekstrusi magma yang kental. Pembentukan kubah baru ini, sebagaimana diungkapkan Isnugroho, adalah indikator jelas dari dorongan magma yang kuat dari dalam perut bumi menuju permukaan. "Berdasarkan pantauan teman-teman di gunung, aktivitas vulkanik Gunung Semeru meningkat. Kita juga tahu di puncak Semeru ada pembentukan kubah baru," tambahnya.
Kehadiran kubah lava baru ini membawa konsekuensi serius dan meningkatkan potensi ancaman bagi masyarakat di sekitar lereng Semeru. Kubah lava yang baru terbentuk cenderung tidak stabil dan rentan terhadap keruntuhan, terutama jika terjadi hujan lebat atau aktivitas seismik yang kuat. Keruntuhan kubah lava dapat memicu serangkaian bencana sekunder, termasuk aliran piroklastik (awan panas guguran) yang mematikan, serta banjir lahar dingin yang lebih besar dan destruktif. Material hasil runtuhan kubah, yang kaya akan abu dan batuan, akan bercampur dengan air hujan membentuk lumpur vulkanik yang mengalir deras menuruni lereng gunung. Oleh karena itu, warga yang bermukim di daerah aliran sungai (DAS) yang berhulu langsung dari Gunung Semeru diminta untuk meningkatkan kewaspadaan secara maksimal.
Ancaman banjir lahar dingin ini bukan isapan jempol belaka. Sejarah letusan Semeru telah berulang kali membuktikan betapa dahsyatnya dampak lahar dingin. Material vulkanik yang mengendap di lereng gunung, baik dari letusan sebelumnya maupun dari runtuhan kubah lava, sewaktu-waktu dapat terangkut oleh air hujan. "Jadi, andaikata terjadi hujan lebat di puncak, kemungkinan longsor banjir lahar dingin bisa terjadi. Semoga tidak terjadi, tetapi melihat dari potensi yang ada sepertinya bisa terjadi, entah kapan, tapi kita tetap waspada ya," ungkap Isnugroho, menekankan bahwa meskipun tidak ada yang bisa memprediksi waktu pasti kejadian, potensi ancaman tersebut nyata dan membutuhkan kesiapsiagaan berkelanjutan.
Peningkatan aktivitas vulkanik Semeru yang terdeteksi PVMBG melalui getaran lahar dingin beramplitudo 38 milimeter adalah data penting yang harus dipahami secara menyeluruh. Amplitudo ini mengindikasikan energi yang dilepaskan oleh aliran lahar, memberikan gambaran tentang volume material yang bergerak dan potensi daya rusaknya. Semakin besar amplitudo, semakin besar pula material yang terbawa dan semakin jauh jangkauan alirannya. PVMBG sebagai lembaga otoritatif dalam mitigasi bencana geologi terus memantau setiap detik pergerakan dan aktivitas Semeru menggunakan berbagai instrumen canggih, mulai dari seismograf, GPS, tiltmeter, hingga pengamatan visual dan analisis gas. Data-data ini kemudian dianalisis untuk mengeluarkan rekomendasi dan peringatan dini kepada masyarakat dan pemerintah daerah.
Masyarakat di Kabupaten Lumajang, khususnya mereka yang tinggal di desa-desa seperti Gondoruso, Candipuro, Pronojiwo, dan sekitarnya, telah hidup berdampingan dengan ancaman Semeru selama puluhan tahun. Namun, setiap peningkatan aktivitas selalu membawa kekhawatiran baru. Bau belerang yang tercium saat banjir lahar terjadi dapat memiliki implikasi kesehatan jangka pendek, seperti iritasi saluran pernapasan, mata, dan kulit, terutama bagi mereka yang memiliki riwayat penyakit pernapasan. Dalam jangka panjang, paparan gas belerang yang tinggi bisa lebih berbahaya. Oleh karena itu, selain menghindari area terdampak lahar, penggunaan masker juga direkomendasikan saat bau belerang tercium kuat.
BPBD Lumajang, bekerja sama dengan TNI, Polri, relawan, dan pemerintah desa, terus mengintensifkan sosialisasi dan edukasi mengenai potensi bahaya Semeru. Jalur evakuasi, titik kumpul, dan tempat pengungsian sementara telah disiapkan. Simulasi evakuasi juga kerap dilakukan untuk memastikan masyarakat siap bertindak cepat dan tepat jika terjadi bencana yang lebih besar. Komunikasi yang efektif antara petugas pos pantau gunung api dengan BPBD dan masyarakat menjadi kunci dalam upaya mitigasi ini. Informasi terbaru mengenai status gunung, rekomendasi PVMBG, dan arahan dari BPBD harus disebarluaskan secara cepat dan akurat melalui berbagai saluran, termasuk media sosial, radio lokal, dan pengumuman di masjid atau balai desa.
Selain ancaman langsung berupa lahar dingin dan aliran piroklastik, peningkatan aktivitas Semeru juga dapat mempengaruhi sektor ekonomi dan lingkungan. Lahan pertanian yang subur di lereng Semeru, yang menjadi tulang punggung perekonomian sebagian besar warga, terancam rusak oleh endapan lahar. Infrastruktur jalan dan jembatan yang melintasi DAS juga rentan terhadap kerusakan, yang dapat mengisolasi beberapa wilayah dan menghambat distribusi logistik. Keberadaan kubah lava baru di puncak bukan hanya ancaman sesaat, melainkan proyeksi potensi bencana jangka panjang yang membutuhkan perencanaan mitigasi yang komprehensif dan berkelanjutan.
Pemerintah daerah Lumajang bersama pemerintah pusat dan berbagai pihak terkait perlu terus memperkuat sistem peringatan dini dan infrastruktur mitigasi bencana. Pembangunan sabo dam dan tanggul penahan lahar yang lebih kuat dan efektif di sepanjang aliran sungai sangat penting untuk mengurangi dampak kerusakan. Selain itu, penataan ruang dan pemukiman yang mempertimbangkan zona rawan bencana harus ditegakkan dengan ketat untuk melindungi masyarakat dari ancaman berulang. Pendidikan kebencanaan yang berkelanjutan bagi generasi muda juga krusial agar kesadaran dan kesiapsiagaan menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat yang hidup di kaki gunung api aktif.
Fenomena lahar berbau belerang di Sungai Regoyo adalah pengingat keras akan kekuatan alam yang tak terduga dan urgensi untuk selalu waspada. Gunung Semeru, dengan segala pesona dan ancamannya, menuntut penghormatan dan kesiapsiagaan tanpa henti dari setiap individu yang hidup di sekitarnya. Peningkatan aktivitas vulkanik yang terdeteksi PVMBG dan pembentukan kubah baru adalah alarm alam yang harus disikapi dengan serius, demi keselamatan dan keberlangsungan hidup masyarakat Lumajang.
(rakyatindependen.id)
