Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, baru-baru ini menarik perhatian publik dengan unggahan di akun media sosialnya, @sugirisancoko26, yang memuat ungkapan bernuansa tasawuf. Unggahan ini diduga kuat sebagai tanggapan halus dan berkelas atas kontroversi tayangan televisi nasional yang dinilai telah merendahkan dan melecehkan kiai serta institusi pesantren, khususnya Pesantren Lirboyo di Kediri. Dalam sebuah langkah yang menunjukkan kebijaksanaan dan kedalaman spiritual, Sugiri memilih jalur komunikasi yang sarat makna, jauh dari retorika konfrontatif, namun tetap tegas dalam menyampaikan pesan moral.
Inti dari unggahan Sugiri adalah kalimat Arab klasik yang mendalam: "Al-Murid ‘indal Mursyid kal Mayyit ‘indal Ghosil." Ungkapan ini, yang dikenal luas dalam khazanah tasawuf dan tarekat, menggambarkan posisi seorang murid di hadapan mursyid atau guru spiritualnya, ibarat mayat di tangan orang yang memandikannya. Sebuah perumpamaan yang menyiratkan kepasrahan total, ketaatan penuh, dan kepercayaan mutlak terhadap bimbingan sang guru spiritual demi penyucian jiwa dan pencapaian derajat spiritual yang lebih tinggi.
Postingan tersebut tidak hanya berisi teks, melainkan juga disertai dengan video pendek yang memperkuat pesan yang ingin disampaikan. Dalam video itu, Bupati Sugiri terlihat bersalaman dengan sejumlah ulama terkemuka. Dengan gestur yang penuh kerendahan hati, orang nomor satu di Ponorogo tersebut tampak menunduk dan mencium tangan para kiai, mulai dari KH Agoes Ali Masyhuri atau yang akrab disapa Gus Ali dari Sidoarjo, beberapa kiai kharismatik di Ponorogo, hingga Muhammad Abdurrahman Al-Kautsar atau Gus Kautsar dari Pesantren Ploso, Kediri. Gestur hormat ini, yang sangat dijunjung tinggi dalam tradisi pesantren dan masyarakat religius, secara eksplisit menegaskan sikap Sugiri terhadap pentingnya adab, penghormatan, dan kerendahan hati kepada guru dan ulama.
Di tengah derasnya gelombang kritik publik dan kemarahan umat Islam terhadap tayangan yang dianggap merendahkan martabat kalangan pesantren dan ulama, unggahan Sugiri Sancoko ini dinilai banyak pihak sebagai sinyal moral dan spiritual yang kuat. Ini adalah respons dari seorang kepala daerah yang memang besar dan tumbuh di lingkungan religius yang kental di Ponorogo, sebuah daerah yang dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan Islam di Jawa Timur. Sikapnya ini menunjukkan bahwa nilai-nilai spiritual dan adab tidak hanya relevan dalam konteks pribadi, tetapi juga fundamental dalam kepemimpinan publik.
Ungkapan "Al-Murid ‘indal Mursyid kal Mayyit ‘indal Ghosil" memiliki resonansi yang dalam. Secara harfiah, "Al-Murid" berarti orang yang berkeinginan atau pencari (murid spiritual), "Al-Mursyid" adalah pembimbing atau guru spiritual, "kal Mayyit" seperti mayat, dan "’indal Ghosil" di tangan orang yang memandikannya. Analogi ini menekankan bahwa seorang murid harus menyerahkan kehendak dan egonya sepenuhnya kepada bimbingan mursyidnya. Sebagaimana mayat yang tidak memiliki kehendak sendiri dan sepenuhnya tunduk pada proses pemandian oleh ghosil (orang yang memandikan) untuk disucikan, demikian pula seorang murid harus menanggalkan keinginan pribadinya dan mengikuti petunjuk mursyid agar jiwanya dapat disucikan dari hawa nafsu dan sifat-sifat tercela. Ini adalah esensi dari perjalanan spiritual dalam tasawuf, di mana ego harus diluluhkan agar jiwa dapat mencapai kedekatan dengan Tuhan.
Dalam konteks sosial dan publik saat ini, kalimat tasawuf tersebut dapat dimaknai lebih luas sebagai seruan moral agar masyarakat kembali menghargai dan menghormati guru serta ulama. Ini adalah antitesis terhadap praktik-praktik yang menjadikan mereka bahan olok-olok, ejekan, atau bahkan pelecehan. Sugiri Sancoko, dengan latar belakangnya yang kuat di lingkungan pesantren, memahami betul betapa krusialnya posisi ulama sebagai pewaris para Nabi, pembimbing umat, dan penjaga moralitas. Merendahkan ulama berarti merendahkan ilmu, adab, dan nilai-nilai luhur yang mereka emban.
Ponorogo sendiri memiliki identitas yang sangat kuat sebagai salah satu basis pendidikan Islam di Jawa Timur. Kehadiran ratusan pondok pesantren yang tersebar di seluruh penjuru kota ini telah membentuk jalinan hubungan yang begitu erat dan harmonis antara pemerintah daerah dan kalangan kiai. Ulama di Ponorogo tidak hanya dianggap sebagai pemuka agama, tetapi juga sebagai penasihat, mitra pembangunan, dan penjaga kearifan lokal. Oleh karena itu, sikap Sugiri Sancoko yang memilih untuk menanggapi isu nasional yang sensitif dengan bahasa adab dan tasawuf dianggap banyak pihak sebagai cara yang sangat elegan dan berwibawa dari seorang pemimpin. Ini adalah cara untuk menjaga marwah ulama, melindungi kehormatan dunia pesantren, sekaligus memberikan edukasi moral kepada masyarakat luas.
Pilihan Sugiri untuk tidak langsung mengutuk atau mengeluarkan pernyataan keras, melainkan menggunakan simbolisme spiritual, menunjukkan kematangan kepemimpinan. Ia tidak hanya merespons insiden, tetapi juga mengingatkan kembali pada fondasi moral dan spiritual bangsa. Dalam masyarakat Indonesia yang sangat religius, pelecehan terhadap simbol-simbol agama dan pemuka agama seringkali memicu reaksi yang kuat. Dengan pendekatannya, Sugiri berhasil menyalurkan kegelisahan publik menjadi sebuah refleksi yang lebih dalam tentang pentingnya adab dan akhlak.
Unggahan Bupati Sugiri tersebut pun menuai banyak respons positif dari warganet. Banyak yang memuji gaya kepemimpinan Sugiri yang lembut, namun sarat dengan makna dan pesan yang kuat. Respons publik ini menunjukkan bahwa masyarakat mendambakan pemimpin yang tidak hanya cakap secara manajerial, tetapi juga memiliki kedalaman spiritual dan kebijaksanaan dalam menghadapi isu-isu sensitif. Mereka melihat Sugiri sebagai sosok yang konsisten dengan nilai-nilai yang ia perjuangkan, sebuah teladan yang menghargai warisan intelektual dan spiritual Islam Nusantara.
Salah satu komentar yang mewakili sentimen publik datang dari akun @arhanza.rio yang menulis, "Cocok pren, dadi pejabat ki hisab e abot, mongko kudu kondelan sarunge poro ulama… Bupati idola."_ Komentar ini menggambarkan pandangan umum bahwa jabatan publik membawa beban pertanggungjawaban yang besar, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat (hisab). Oleh karena itu, seorang pejabat diharapkan untuk senantiasa "berpegangan pada sarung para ulama," sebuah metafora yang berarti mencari bimbingan, nasihat, dan restu dari para ulama agar kepemimpinannya berjalan lurus dan diberkahi. Ini adalah cerminan kepercayaan masyarakat terhadap peran ulama sebagai penjaga moral dan spiritual, bahkan bagi para pemimpin pemerintahan. Pujian "Bupati idola" menegaskan bahwa pendekatan Sugiri telah memenangkan hati rakyatnya.
Dengan demikian, ungkapan tasawuf yang diunggah Bupati Sugiri Sancoko bukanlah sekadar kutipan religius biasa. Ia adalah manifestasi dari sebuah sikap kepemimpinan yang bijaksana, respons yang cerdas terhadap tantangan kontemporer, dan pengingat akan pentingnya menjaga adab serta menghormati ulama sebagai pilar masyarakat. Dalam sebuah era di mana media seringkali memicu polarisasi, Sugiri menunjukkan bahwa ada cara yang lebih mulia dan bermakna untuk menyampaikan kebenaran dan menegakkan nilai-nilai luhur. Langkahnya ini menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana pemimpin dapat menggunakan platformnya untuk menginspirasi, mendidik, dan mempersatukan, alih-alih memecah belah. Ini adalah sebuah upaya untuk mengembalikan marwah adab dan penghormatan dalam ruang publik, dimulai dari teladan seorang kepala daerah.
rakyatindependen.id