Kekalahan menyakitkan yang dialami tim nasional Brasil di tangan Jepang pada Selasa malam (14/10/2025) di Tokyo Stadium bukan sekadar hasil uji coba biasa. Skor akhir 3-2 yang dramatis, di mana Selecao menyerah setelah sempat unggul dua gol, menjadi lonceng peringatan keras bagi skuad asuhan Carlo Ancelotti. Meskipun kedua tim telah sama-sama memastikan tiket ke Piala Dunia 2026, laga ini jauh dari sekadar formalitas; bagi Jepang, ini adalah deklarasi kekuatan, sementara bagi Brasil, ini adalah sinyal bahaya yang tak boleh diabaikan.
Pertandingan yang digelar di hadapan puluhan ribu pasang mata di Tokyo Stadium berlangsung dengan intensitas tinggi sejak peluit awal. Brasil, dengan reputasi sebagai salah satu raksasa sepak bola dunia, mengawali laga dengan kepercayaan diri yang membara. Mereka menunjukkan dominasi awal dengan penguasaan bola yang superior dan pergerakan menyerang yang cair, seolah ingin menegaskan status mereka sebagai tim unggulan. Publik Jepang yang memadati stadion sempat dibuat terdiam ketika Brasil berhasil memecah kebuntuan di menit ke-26. Gelandang serang lincah, Paulo Henrique, berhasil mengeksploitasi celah di lini pertahanan Jepang dengan kecepatan dan visi permainannya. Setelah melakukan kombinasi apik di area tengah, ia melepaskan tembakan mendatar dari luar kotak penalti yang tak mampu dibendung kiper Jepang, Shuichi Gonda. Gol ini seolah menjadi konfirmasi atas superioritas yang diprediksi banyak pihak.
Tak butuh waktu lama bagi Brasil untuk menggandakan keunggulan. Enam menit berselang, tepatnya di menit ke-32, penyerang sayap Arsenal yang tengah naik daun, Gabriel Martinelli, menunjukkan kelasnya. Menerima umpan terobosan dari Lucas Paquetá, Martinelli dengan tenang melewati hadangan bek Jepang sebelum melepaskan sepakan keras ke sudut atas gawang yang kembali mengoyak jala Gonda. Skor 2-0 untuk Brasil di babak pertama membuat banyak pihak, termasuk komentator dan para penggemar, berpikir bahwa pertandingan ini akan berjalan seperti skenario klasik pertemuan kedua tim: dominasi Brasil dan kekalahan Jepang yang tak terhindarkan. Para pemain Jepang terlihat frustrasi, sementara Ancelotti di pinggir lapangan tampak puas dengan performa anak asuhnya yang efisien.
Namun, jeda babak pertama terbukti menjadi titik balik krusial. Apa pun yang dikatakan pelatih Jepang, Hajime Moriyasu, di ruang ganti tampaknya berhasil membakar semangat juang para Samurai Biru. Mereka kembali ke lapangan dengan mentalitas yang sama sekali berbeda. Tekanan tinggi, kecepatan, dan determinasi yang luar biasa diperlihatkan oleh setiap pemain Jepang. Strategi Moriyasu untuk bermain lebih agresif dalam menekan lawan di area pertahanan Brasil mulai membuahkan hasil. Brasil yang tampak sedikit mengendurkan tempo, seolah merasa nyaman dengan keunggulan dua gol, mulai kesulitan mengembangkan permainan.
Gelombang serangan Jepang akhirnya membuahkan hasil di menit ke-52. Takumi Minamino, mantan pemain Liverpool yang kini menjadi motor serangan Jepang, berhasil mencetak gol balasan yang membangkitkan harapan. Menerima umpan terobosan cerdik dari Daichi Kamada, Minamino dengan dingin menuntaskan peluang tersebut dengan sepakan terarah yang tak bisa dijangkau kiper Brasil, Alisson Becker. Gol ini sontak mengubah atmosfer di Tokyo Stadium. Suara gemuruh dukungan dari para suporter Jepang kembali membahana, memberi energi tambahan bagi para pemain di lapangan.
Momentum benar-benar beralih ke pihak Jepang sepuluh menit kemudian. Keito Nakamura, penyerang muda yang sedang naik daun, menunjukkan insting gol tajamnya. Sebuah skema serangan balik cepat yang dibangun dari sayap kiri berhasil diakhiri dengan umpan silang mendatar yang sempurna ke kotak penalti. Nakamura, yang berada di posisi tepat, tanpa ampun melesakkan bola ke gawang Alisson, menyamakan kedudukan menjadi 2-2 di menit ke-62. Gol ini meledakkan euforia di stadion, sekaligus menyuntikkan kegugupan di kubu Brasil. Para pemain Brasil terlihat kebingungan, komunikasi antar lini mulai terganggu, dan kesalahan-kesalahan elementer mulai terlihat. Ancelotti terlihat frustrasi di pinggir lapangan, mencoba memberikan instruksi yang tak kunjung direspons dengan baik oleh para pemainnya.
Puncak dari comeback sensasional ini terjadi di menit ke-71. Ayase Ueda, penyerang tengah yang masuk sebagai pemain pengganti, menjadi pahlawan bagi Jepang. Dalam sebuah situasi kemelut di depan gawang Brasil setelah tendangan sudut, Ueda menunjukkan ketenangannya. Bola liar hasil blok pemain bertahan Brasil jatuh tepat di kakinya, dan dengan sigap ia melepaskan tembakan keras yang tak bisa diantisipasi oleh Alisson. Skor 3-2 untuk Jepang! Seluruh Tokyo Stadium bergemuruh, merayakan kemenangan bersejarah ini. Dalam rentang waktu hanya 19 menit di babak kedua, Jepang berhasil membalikkan keadaan dari tertinggal 0-2 menjadi unggul 3-2, sebuah pencapaian yang luar biasa dan patut diacungi jempol.
Kemenangan fenomenal Jepang kali ini bukan hanya sekadar tiga poin dalam laga uji coba; ini adalah kemenangan pertama mereka atas Brasil dari total 14 pertemuan. Sejarah mencatat, dalam 13 pertemuan sebelumnya, Jepang hanya mampu menorehkan 2 hasil seri dan menelan 11 kekalahan. Rekor buruk ini telah lama menjadi "kutukan" bagi sepak bola Jepang setiap kali berhadapan dengan raksasa Amerika Selatan tersebut. Memutus rekor ini dengan cara yang begitu dramatis dan heroik tentu akan meningkatkan moral dan kepercayaan diri tim Samurai Biru secara signifikan menjelang Piala Dunia 2026.
Pelatih Jepang, Hajime Moriyasu, dengan rendah hati menyambut kemenangan ini. "Laga ini memang uji coba. Tetapi, selalu sulit mengalahkan Brasil. Mereka tentu bakal jauh lebih kuat di Piala Dunia nanti. Kami juga harus terus berbenah [hingga Piala Dunia]," ujar Moriyasu dilansir AFP. Pernyataan Moriyasu mencerminkan kesadaran akan tantangan yang lebih besar di depan, namun juga mengindikasikan optimisme yang sehat setelah berhasil mengalahkan salah satu tim terbaik di dunia. Kemenangan ini adalah bukti nyata dari evolusi taktik dan mentalitas tim Jepang yang semakin matang.
Di sisi lain, kekalahan ini adalah pukulan telak bagi Brasil dan terutama bagi Carlo Ancelotti. Ini adalah kekalahan kedua dalam tiga laga terakhir mereka. Kekalahan sebelumnya terjadi pada 10 September 2025, ketika mereka secara mengejutkan takluk 0-1 dari Bolivia pada matchday pamungkas kualifikasi Piala Dunia. Inkonsistensi performa ini membuktikan bahwa Carlo Ancelotti belum sepenuhnya "nyetel" dengan anak asuhnya sejak ia resmi melatih Brasil pada 25 Mei lalu. Dari enam pertandingan di bawah asuhannya, Ancelotti hanya membukukan tiga kemenangan, sebuah statistik yang jauh dari ekspektasi tinggi yang menyertai kedatangannya.
Fakta-fakta tersebut menjadi sinyal serius bagi Brasil bersama Carletto, sapaan akrab Ancelotti. Tekanan untuk meraih gelar Piala Dunia yang terakhir kali mereka rasakan pada edisi 2002 kini semakin memuncak. Publik Brasil mendambakan trofi keenam, dan kedatangan pelatih sekaliber Ancelotti diharapkan bisa menjadi kunci. Namun, jika tim tidak segera berbenah dan mengatasi masalah inkonsistensi, maka penantian panjang tersebut berpotensi semakin memanjang. "Kesalahan-kesalahan pada babak kedua akan jadi evaluasi utama kami," papar Ancelotti dikutip RFI, menunjukkan bahwa ia menyadari adanya masalah fundamental dalam timnya.
Tantangan bagi Ancelotti dalam membesut tim nasional jauh berbeda dengan pengalamannya di klub. Di klub, ia memiliki waktu lebih banyak untuk melatih, membangun chemistry, dan menerapkan filosofinya. Di timnas, waktu persiapan sangat terbatas, menuntut adaptasi cepat dan kemampuan untuk memaksimalkan potensi pemain dalam waktu singkat. Kekalahan ini menyoroti kerapuhan mental tim Brasil ketika di bawah tekanan, serta kurangnya soliditas di lini belakang yang menjadi ciri khas tim-tim Ancelotti sebelumnya. Pertahanan yang begitu mudah ditembus oleh Jepang setelah unggul dua gol adalah alarm yang sangat keras.
Bagi Jepang, kemenangan ini adalah deklarasi bahwa mereka bukan lagi tim pelengkap, melainkan pesaing serius di panggung global. Keberanian Moriyasu untuk melakukan perubahan taktik yang berani di babak kedua, serta respons positif dari para pemainnya, menunjukkan kedalaman skuad dan kualitas kepelatihan yang semakin matang. Ini adalah modal berharga untuk membangun kepercayaan diri menuju Piala Dunia 2026.
Sebaliknya, bagi Brasil, hasil ini adalah panggilan bangun yang menyakitkan. Piala Dunia 2026 masih menyisakan waktu, tetapi Ancelotti harus segera menemukan formula yang tepat. Ia perlu membangun kembali kepercayaan diri tim, memperkuat lini pertahanan, dan memastikan bahwa mentalitas juara Selecao tidak luntur di bawah tekanan. Jika tidak, "sinyal bahaya" dari Tokyo ini bisa berubah menjadi kenyataan pahit di panggung sepak bola terbesar dunia. Perjalanan Brasil menuju Piala Dunia akan menjadi ujian sesungguhnya bagi kejeniusan taktik Carlo Ancelotti.
Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id