Anggota Fraksi PDI Perjuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur, Fuad Benardi, melayangkan permintaan tegas untuk dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap jajaran direksi dan komisaris PT Kasa Husada Wira Jatim. Desakan ini muncul menyusul serangkaian persoalan pelik yang mendera anak perusahaan BUMD PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim tersebut, mulai dari dugaan pelanggaran dalam pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan, tunggakan gaji yang belum terselesaikan, hingga kerugian fantastis yang diperkirakan mencapai Rp50 miliar. Tuntutan evaluasi ini menandai kekhawatiran mendalam DPRD Jatim terhadap tata kelola perusahaan pelat merah yang seharusnya menjadi penopang ekonomi daerah.
Fuad Benardi, yang juga merupakan anggota Komisi C DPRD Jatim, menegaskan bahwa permasalahan di PT Kasa Husada Wira Jatim bukanlah isu baru. Persoalan ini telah menjadi perhatian serius di kalangan legislatif selama beberapa waktu, mengindikasikan adanya akar masalah yang belum tertangani secara tuntas. Lebih lanjut, ia menyoroti laporan kerugian perusahaan yang mencapai angka Rp50 miliar sebagai sebuah anomali besar. Kejanggalan ini menjadi pertanyaan besar mengingat reputasi dan kekuatan pasar produk Kasa Husada yang telah dikenal luas oleh masyarakat, bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. "Ini hal yang aneh. PT Kasa Husada bukan perusahaan baru, bahkan produknya sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Produknya terkenal dan banyak digunakan di rumah sakit, bahkan saya sendiri kalau beli di apotek sering pilih produk Kasa Husada," ujar Fuad pada Selasa (21/10/2025), mengungkapkan keheranannya terhadap kondisi keuangan perusahaan yang kontras dengan popularitas produknya.
Kekuatan merek dan penetrasi pasar yang kuat seharusnya menjadi modal berharga bagi PT Kasa Husada Wira Jatim untuk meraup keuntungan dan berkontribusi pada pendapatan daerah. Namun, kenyataan kerugian masif yang terjadi justru menunjukkan adanya persoalan fundamental dalam pengelolaan dan manajemen perusahaan. Fuad Benardi, yang juga putra sulung mantan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, berpendapat bahwa kerugian besar di tengah pasar yang jelas dan loyal mengindikasikan adanya kegagalan serius dalam tata kelola perusahaan. Oleh karena itu, ia mendesak agar jajaran direksi dan komisaris segera dievaluasi karena dinilai tidak mampu menjaga kinerja keuangan dan efisiensi organisasi. "Kalau pasar sudah ada tapi tetap merugi, berarti ada yang salah di manajemennya. Direksi dan komisaris harus dievaluasi karena kinerjanya tidak bagus," tegasnya, menyoroti tanggung jawab pimpinan perusahaan.
Desakan ini tidak hanya tertuju pada PT Kasa Husada Wira Jatim semata, melainkan juga menyentuh induk perusahaannya, PT Panca Wira Usaha (PWU). Fuad menilai performa PT PWU selama ini juga kurang optimal, menunjukkan adanya masalah sistemik dalam pengelolaan BUMD di Jawa Timur. Kritik ini beralasan, mengingat PT PWU seharusnya memiliki peran strategis dalam mengawasi, membina, dan memastikan anak-anak perusahaannya beroperasi secara efektif dan efisien. Kegagalan Kasa Husada secara tidak langsung juga mencerminkan kelemahan dalam pengawasan dan dukungan dari PT PWU sebagai entitas induk. Situasi ini mengundang pertanyaan tentang bagaimana PT PWU menjalankan fungsi korporasinya dalam menciptakan nilai tambah bagi daerah.
Kinerja BUMD di Jawa Timur secara keseluruhan memang menjadi perhatian utama Fuad Benardi. Ia mengungkapkan bahwa kontribusi BUMD terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jawa Timur masih sangat rendah dan belum sesuai dengan potensi yang dimiliki. Menurutnya, sebagian besar setoran dividen yang masuk ke kas daerah masih sangat bergantung pada Bank Jatim, sementara BUMD lainnya belum menunjukkan kinerja signifikan. "Setoran dividen BUMD Jatim termasuk dari PT PWU itu sangat rendah. Kalau dibandingkan dengan Jawa Tengah, selisihnya jauh sekali. Lebih dari 90 persen setoran dividen Jatim itu hanya dari Bank Jatim. BUMD lain masih banyak yang minus," ujarnya, memaparkan perbandingan yang mencolok dengan provinsi tetangga.
Perbandingan dengan Jawa Tengah ini menjadi cerminan bahwa potensi BUMD di Jawa Timur belum tergali maksimal. Padahal, BUMD memiliki peran vital tidak hanya sebagai sumber PAD, tetapi juga sebagai motor penggerak ekonomi daerah, penyedia lapangan kerja, dan pelaksana kebijakan pembangunan. Ketergantungan yang terlalu besar pada satu entitas seperti Bank Jatim menunjukkan kurangnya diversifikasi sumber pendapatan daerah dari sektor BUMD, yang bisa berisiko jika Bank Jatim mengalami gejolak. Kondisi ini juga mengindikasikan bahwa banyak BUMD lain di Jawa Timur yang belum mampu berinovasi, beradaptasi, atau bahkan sekadar menjaga keberlanjutan operasionalnya.
Untuk menindaklanjuti persoalan ini, Komisi C DPRD Jatim berencana memanggil seluruh direksi BUMD, termasuk PT PWU dan PT Kasa Husada Wira Jatim, dalam rapat pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2026. Rapat penting ini dijadwalkan akan digelar di Jakarta, sebuah langkah yang mungkin diambil untuk menciptakan suasana yang lebih netral dan fokus dalam pembahasan. Pemanggilan ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk menguak lebih dalam akar masalah yang ada, menuntut pertanggungjawaban dari para pimpinan BUMD, serta merumuskan strategi perbaikan yang konkret dan terukur.
Fuad Benardi menegaskan bahwa tujuan utama dari pemanggilan ini adalah untuk memastikan tidak ada lagi alasan bagi BUMD untuk meminta penyertaan modal dengan dalih kerugian. Legislator dari Dapil Surabaya ini menekankan bahwa para direksi dan komisaris BUMD harus memiliki inisiatif, sinergitas, dan kreativitas dalam menjalankan roda perusahaan. Mereka digaji untuk memimpin dan memajukan perusahaan, bukan sekadar menjadi penonton atau pengelola pasif yang hanya menunggu suntikan dana dari pemerintah daerah. "Buat apa digaji kalau tidak bisa berpikir untuk memajukan perusahaan," pungkas Fuad, menyiratkan ekspektasi tinggi terhadap profesionalisme dan kinerja para pimpinan BUMD.
Lebih jauh, persoalan dugaan pelanggaran PHK dan tunggakan gaji karyawan di PT Kasa Husada Wira Jatim juga menjadi sorotan tajam. Isu ini tidak hanya menyangkut aspek keuangan perusahaan, tetapi juga aspek kemanusiaan dan kepatuhan terhadap regulasi ketenagakerjaan. Pelanggaran PHK yang tidak sesuai prosedur atau tanpa pemberian hak-hak karyawan dapat menimbulkan dampak sosial yang serius, seperti kesulitan ekonomi bagi keluarga karyawan yang terdampak. Sementara itu, tunggakan gaji merupakan pelanggaran hak dasar karyawan yang dapat merusak moral dan produktivitas kerja. DPRD Jatim diharapkan dapat memastikan bahwa hak-hak karyawan yang terdampak dapat dipenuhi dan perusahaan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penanganan isu ketenagakerjaan yang buruk ini menjadi indikator lain dari tata kelola perusahaan yang tidak sehat dan kurangnya kepedulian manajemen terhadap aset terpenting perusahaan, yaitu sumber daya manusia.
Evaluasi menyeluruh yang diminta oleh Fraksi PDIP ini diharapkan tidak hanya berhenti pada pergantian direksi dan komisaris, tetapi juga mencakup perbaikan sistemik dalam tata kelola perusahaan, manajemen risiko, strategi bisnis, serta kepatuhan terhadap regulasi. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci dalam reformasi BUMD agar dapat benar-benar menjadi pilar ekonomi daerah yang kuat dan berkelanjutan, bukan sekadar beban anggaran daerah. Komisi C DPRD Jatim berkomitmen untuk terus mengawal proses ini demi terwujudnya BUMD yang sehat, produktif, dan memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan masyarakat Jawa Timur.
rakyatindependen.id