Magetan kini dihadapkan pada sebuah ironi pembangunan yang mendalam, di mana kontribusi sektor pertambangan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Magetan yang hanya mencapai sekitar Rp700 juta, dianggap sangat tidak sebanding dengan serangkaian risiko keselamatan, kerusakan lingkungan yang parah, hingga dampak sosial jangka panjang yang ditimbulkan oleh aktivitas penambangan. Pernyataan tegas ini disampaikan oleh Ketua DPRD Kabupaten Magetan, Suratno, yang menyoroti urgensi untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sektor ini. Angka Rp700 juta, yang seharusnya menjadi salah satu penopang pembangunan daerah, justru terasa begitu kecil dan tak berarti jika dibandingkan dengan potensi kerugian yang bisa mencapai miliaran rupiah, bahkan nyawa manusia yang tak ternilai harganya.
Insiden longsor tragis yang baru-baru ini terjadi di area tambang Desa Trosono, Kecamatan Parang, yang merenggut korban jiwa, telah menjadi peringatan keras bagi seluruh pemangku kepentingan. Peristiwa nahas ini tidak hanya mengungkap rapuhnya sistem pengawasan dan minimnya standar keselamatan di beberapa lokasi tambang, tetapi juga memperjelas bahwa biaya sosial dan lingkungan yang harus ditanggung masyarakat jauh melampaui keuntungan finansial yang diperoleh daerah. Suratno menegaskan bahwa kejadian ini bukan sekadar musibah biasa, melainkan sebuah pekerjaan rumah besar yang harus segera diselesaikan, baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah provinsi, mengingat perizinan tambang seringkali melibatkan kewenangan di tingkat provinsi.
"Langkah cepat dan tanggap dari BPBD serta kepolisian yang bekerja tanpa henti selama 24 jam untuk melakukan evakuasi dan pencarian korban patut kita apresiasi setinggi-tingginya. Namun, di balik itu, ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. PAD yang hanya Rp700 juta dari sektor tambang ini sangat kecil, bahkan bisa dibilang tidak berarti, bila dibandingkan dengan risiko keselamatan jiwa, kerugian materiil akibat kerusakan infrastruktur, serta kerusakan lingkungan yang sifatnya masif dan berjangka panjang," tegas Suratno dengan nada prihatin. Ia menambahkan, angka tersebut seharusnya memicu refleksi mendalam tentang prioritas pembangunan dan keberlanlanjutan di Magetan.
Pernyataan Suratno ini menggarisbawahi kegagalan dalam menyeimbangkan antara eksploitasi sumber daya alam dengan perlindungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Rp700 juta mungkin terdengar seperti jumlah yang lumayan, namun jika dibandingkan dengan total PAD Magetan atau anggaran yang dibutuhkan untuk perbaikan infrastruktur jalan, pembangunan fasilitas publik, atau bahkan biaya operasional sebuah dinas, angka tersebut akan terlihat sangat minim. Terlebih lagi, jika dihadapkan dengan biaya rehabilitasi lahan tambang yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah per hektare, atau kompensasi bagi keluarga korban jiwa, maka kontribusi tersebut menjadi tidak relevan. Ironisnya, masyarakat Magetan, khususnya yang tinggal di sekitar area tambang, justru harus menanggung beban langsung dari dampak negatif aktivitas ini, mulai dari polusi udara akibat debu, pencemaran air, hingga ancaman bencana alam seperti longsor.
Suratno mengungkapkan bahwa DPRD Magetan bersama Badan Anggaran (Banggar) dan sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait telah beberapa kali menggelar rapat untuk membahas persoalan krusial ini. Diskusi yang alot telah dilakukan, mencakup berbagai aspek mulai dari regulasi, pengawasan, hingga potensi peningkatan PAD yang berkelanjutan. Namun, kompleksitas masalah pertambangan, yang melibatkan banyak pihak dan regulasi lintas sektor, seringkali menjadi hambatan dalam menemukan solusi yang komprehensif dan efektif. Menurutnya, perlu ada evaluasi menyeluruh yang tidak hanya berfokus pada aspek finansial, tetapi juga mencakup jumlah tambang yang sudah memiliki izin resmi, yang masih dalam proses perizinan, bahkan tambang-tambang ilegal yang beroperasi tanpa sepengetahuan atau izin pemerintah. Evaluasi ini harus transparan dan melibatkan pakar lingkungan, ahli geologi, serta perwakilan masyarakat.
Lebih lanjut, Suratno juga menyoroti pentingnya pengawasan pasca-penambangan, sebuah aspek yang seringkali terabaikan dan menjadi sumber masalah baru. Ia mengambil contoh rehabilitasi tambang di kawasan Sobontor yang dinilai cukup baik dan bisa menjadi model, namun menekankan bahwa praktik serupa masih perlu ditingkatkan dan diterapkan secara konsisten di lokasi-lokasi lain yang tersebar di Magetan. Rehabilitasi pasca-penambangan bukan sekadar menanam pohon, tetapi melibatkan restorasi ekosistem secara menyeluruh, memastikan stabilitas lahan, mencegah erosi, dan memulihkan fungsi hidrologis tanah. Tanpa pengawasan yang ketat dan sanksi yang tegas, banyak perusahaan tambang cenderung mengabaikan tanggung jawab ini setelah keuntungan maksimal diperoleh.
"Ke depan, pengawasannya harus jauh lebih ketat, komprehensif, dan berkelanjutan. Jangan sampai izin dikeluarkan dengan mudah, tetapi kemudian aspek pasca-penambangan, seperti reklamasi dan revegetasi, justru luput dari perhatian serius. Lingkungan yang rusak akan menjadi warisan buruk bagi generasi mendatang, dan biaya untuk memulihkannya jauh lebih besar dari PAD yang kita dapatkan," tegas Suratno, menekankan pentingnya tanggung jawab lingkungan dari setiap pelaku usaha pertambangan. Ia juga menyoroti perlunya pembentukan tim khusus yang bertugas memantau secara berkala kondisi pasca-tambang, memastikan bahwa perusahaan memenuhi kewajiban rehabilitasi sesuai standar yang ditetapkan.
Sejalan dengan kekhawatiran yang disampaikan oleh Ketua DPRD, Kapolres Magetan, AKBP Raden Erik Bangun Prakasa, turut menekankan bahwa faktor keselamatan harus menjadi perhatian utama dan mutlak dalam setiap aktivitas pertambangan. Menurutnya, tidak ada keuntungan ekonomi yang sebanding dengan hilangnya nyawa atau cacat permanen yang diderita pekerja tambang. Ia menegaskan bahwa evaluasi mendalam akan dilakukan bersama dengan pemerintah daerah dan DPRD terkait seluruh aspek aktivitas pertambangan di wilayah tersebut, termasuk peninjauan ulang prosedur operasi standar (SOP) keselamatan, kondisi peralatan, dan pelatihan bagi para pekerja.
"Kemudian dari masyarakat juga, ini kami bersama dengan Pak Ketua DPRD, ini nanti menjadi evaluasi kita ke depan terkait dengan kegiatan yang ada di lokasi ini. Faktor keselamatan itu adalah hal yang utama, tidak bisa ditawar-tawar. Kami akan berkoordinasi erat dengan semua pihak untuk memastikan bahwa setiap kegiatan pertambangan memenuhi standar keselamatan yang berlaku, dan menindak tegas pelanggaran yang membahayakan nyawa," ujar Kapolres. Evaluasi ini diharapkan tidak hanya berhenti pada rekomendasi, tetapi juga menghasilkan tindakan konkret seperti penutupan tambang yang tidak memenuhi standar, peningkatan patroli pengawasan, dan edukasi keselamatan kepada masyarakat dan pekerja tambang.
Kondisi ini menuntut Magetan untuk berpikir ulang tentang model pembangunan ekonominya. Ketergantungan pada sektor pertambangan yang rendah kontribusi PAD-nya namun tinggi risikonya harus segera dikoreksi. Pemerintah daerah, bersama DPRD dan masyarakat, perlu mencari alternatif pengembangan ekonomi yang lebih berkelanjutan, ramah lingkungan, dan memberikan manfaat langsung yang lebih besar bagi kesejahteraan masyarakat. Ini bisa berarti mengoptimalkan sektor pertanian, pariwisata, atau industri kreatif yang memiliki potensi besar di Magetan. Transparansi dalam pengelolaan perizinan tambang, akuntabilitas perusahaan, serta partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan adalah kunci untuk mewujudkan pertambangan yang bertanggung jawab, jika memang sektor ini masih harus dipertahankan. Jika tidak, biaya sosial dan lingkungan yang harus ditanggung akan jauh melampaui angka Rp700 juta PAD, menjadi beban tak terhingga bagi Magetan di masa depan.
rakyatindependen.id