Ponorogo, sebuah kabupaten di Jawa Timur, kini dapat bernapas lega setelah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo berhasil membalikkan keadaan krusial terkait pengelolaan sampahnya. Setelah melalui serangkaian upaya panjang dan komitmen yang tak tergoyahkan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) secara resmi mencabut sanksi penutupan operasional Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Mrican. Keputusan ini datang tepat waktu, menyelamatkan Ponorogo dari potensi krisis lingkungan yang parah yang seharusnya berlaku mulai 7 November mendatang.
Ancaman penutupan TPA Mrican telah menjadi bayangan gelap yang menghantui Pemkab dan seluruh masyarakat Ponorogo selama beberapa waktu. TPA Mrican adalah jantung pengelolaan sampah di Ponorogo, tempat jutaan ton limbah rumah tangga dan industri berakhir setiap tahunnya. Penutupan fasilitas vital ini berarti tidak ada lagi tempat pembuangan sampah legal, yang secara otomatis akan memicu penumpukan sampah di jalan-jalan, pasar, dan permukiman warga. Skenario terburuknya adalah krisis sanitasi, penyebaran penyakit, pencemaran lingkungan yang meluas, dan kerusakan estetika kota yang tidak terbayangkan. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar; banyak daerah lain di Indonesia pernah mengalami krisis serupa ketika TPA mereka ditutup tanpa solusi alternatif yang memadai.
Kabar baik yang membawa angin segar ini disampaikan langsung oleh Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Ponorogo, Jamus Kunto Purnomo, pada Sabtu (1/11/2025). Jamus menjelaskan bahwa keputusan pencabutan sanksi ini adalah hasil dari koordinasi intens dan dialog konstruktif yang telah dilakukan pihaknya dengan Direktur Pengurangan Sampah KLH beberapa waktu lalu. "Bingung juga sampah dibuang di mana, kalau seumpama larangan ini diterapkan," kenang Jamus, menggambarkan kembali suasana penuh kecemasan yang sempat menyelimuti jajarannya dan masyarakat. Pernyataan tersebut bukan sekadar retorika, melainkan cerminan nyata dari beban berat yang ditanggung Pemkab Ponorogo dalam mencari solusi terbaik untuk masalah sampah yang kompleks.
Jamus menegaskan bahwa pencabutan sanksi ini bukanlah hadiah cuma-cuma, melainkan pengakuan atas komitmen dan langkah-langkah konkret yang telah diambil Pemkab Ponorogo. KLH memberikan beberapa catatan penting dan prasyarat yang wajib dijalankan oleh Pemkab Ponorogo sebagai bagian dari komitmen perbaikan berkelanjutan. Dua poin utama yang menjadi fokus adalah perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah serta pembangunan sistem pengolahan sampah yang lebih baik, terintegrasi dari hulu hingga hilir. Ini berarti Ponorogo tidak hanya dituntut untuk memperbaiki sistem di TPA, tetapi juga harus memulai perubahan dari sumbernya, yaitu rumah tangga dan aktivitas sehari-hari masyarakat.
Merespons arahan tersebut, Pemkab Ponorogo melalui DLH telah menjalankan beragam inovasi dan program transformatif. Edukasi pengurangan sampah rumah tangga menjadi prioritas utama. DLH aktif menyelenggarakan sosialisasi, lokakarya, dan kampanye lingkungan di berbagai tingkatan, mulai dari sekolah-sekolah, komunitas RT/RW, hingga organisasi kemasyarakatan. Materi edukasi tidak hanya sebatas teori, tetapi juga praktik nyata tentang bagaimana mengurangi produksi sampah, memilah jenis-jenis sampah, serta mengolah sampah organik menjadi kompos. Program "Gerakan Ponorogo Bersih dan Bebas Sampah" digulirkan, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi aktif.
Selain edukasi, penerapan biopori sampah di berbagai titik menjadi salah satu inovasi fisik yang cukup efektif. Ribuan lubang biopori telah dibuat di fasilitas umum, perkantoran, sekolah, bahkan di halaman rumah warga. Biopori berfungsi sebagai lubang resapan yang dapat menguraikan sampah organik menjadi kompos, sekaligus meningkatkan penyerapan air tanah. Inisiatif ini tidak hanya mengurangi volume sampah organik yang masuk ke TPA, tetapi juga berkontribusi pada konservasi air dan kesuburan tanah.
Kampanye "memilah sebelum membuang" juga digencarkan. DLH Ponorogo bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengaktifkan kembali bank-bank sampah di tingkat kelurahan dan desa. Masyarakat didorong untuk memilah sampah menjadi setidaknya tiga kategori: organik, anorganik (plastik, kertas, logam), dan sampah residu. Sampah anorganik yang bernilai ekonomis dapat disetor ke bank sampah untuk ditukarkan dengan uang atau kebutuhan pokok, memberikan insentif langsung bagi warga untuk berpartisipasi. Sedangkan sampah organik didorong untuk diolah mandiri melalui komposter atau biopori.
Hasil dari upaya-upaya ini mulai terlihat signifikan. Jamus optimistis mengungkapkan bahwa "produksi sampah mulai berkurang, tidak lagi 70 ton" yang sebelumnya menjadi angka rata-rata harian sampah yang masuk ke TPA Mrican. Penurunan volume sampah ini adalah indikator kunci keberhasilan program-program yang dijalankan. Angka 70 ton per hari sebelumnya menunjukkan beban yang luar biasa bagi TPA Mrican, yang kapasitasnya terus tergerus. Dengan berkurangnya volume sampah yang masuk, umur TPA dapat diperpanjang, dan tekanan lingkungan dapat dikurangi.
DLH menargetkan bahwa sebelum tanggal 7 November, volume sampah yang masuk ke TPA Mrican bisa ditekan hingga 30-40 persen dari volume sebelumnya. Target ambisius ini memerlukan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat dan konsistensi dalam menjalankan program. Angka itu diharapkan akan terus menurun seiring peningkatan kesadaran warga dan efektivitas kebijakan pengolahan sampah terpadu yang terus disempurnakan.
Jamus menegaskan kembali fokus utama kementerian dalam masalah ini. "Bukan masalah tidak boleh buangnya (sampah), tapi bagaimana masyarakat mengurangi produksi sampah. Nah, itu yang menjadi konsentrasi kementerian," tegasnya. Pernyataan ini menggarisbawahi pergeseran paradigma dari sekadar pengelolaan akhir sampah menjadi pencegahan dan pengurangan sampah dari sumbernya. KLH melihat bahwa solusi jangka panjang bukan hanya terletak pada perluasan atau modernisasi TPA, melainkan pada perubahan fundamental dalam kebiasaan konsumsi dan pengelolaan sampah di tingkat individu dan komunitas.
Dengan pencabutan sanksi tersebut, TPA Mrican dapat kembali beroperasi normal, memastikan layanan kebersihan bagi masyarakat Ponorogo tidak terganggu. Namun, bagi Pemkab Ponorogo, keputusan ini bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari tanggung jawab baru yang lebih besar. Kepercayaan KLH yang telah diberikan harus dijaga dengan sungguh-sungguh melalui implementasi program yang konsisten dan berkelanjutan.
DLH kini memperkuat pengawasan dan memastikan bahwa program pengurangan sampah terus berjalan dengan baik di seluruh wilayah Ponorogo. Edukasi masyarakat secara berkelanjutan, peningkatan fasilitas pengelolaan sampah di berbagai tingkatan, dan penerapan sistem pengelolaan berbasis lingkungan menjadi fokus utama. Tujuannya adalah agar TPA Mrican tidak lagi menjadi sorotan nasional karena masalah, melainkan menjadi contoh pengelolaan sampah yang baik.
Langkah-langkah holistik yang diambil Pemkab Ponorogo ini menjadi bukti nyata bahwa perubahan perilaku bukan hanya sekadar wacana atau slogan, tetapi komitmen yang dapat diwujudkan melalui kerja keras dan kolaborasi. Ponorogo kini bergerak maju, tidak hanya sekadar membuang sampah, tetapi membangun budaya mengolah dan bertanggung jawab atas setiap limbah yang dihasilkan. Ini adalah transformasi dari kebiasaan konsumtif yang merugikan lingkungan menjadi pola hidup berkelanjutan yang menjaga kelestarian alam untuk generasi mendatang. Dengan demikian, Ponorogo bukan hanya menyelamatkan TPA-nya, tetapi juga masa depan lingkungan dan kesehatan masyarakatnya.
(end/ted)
Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id
