Bondowoso Kencangkan Ikat Pinggang: Pendapatan Daerah Terkoreksi Menjadi Rp2 Triliun, Belanja Dipangkas Rp65 Miliar dalam Perubahan APBD 2025

Pemerintah Kabupaten Bondowoso tengah menghadapi tantangan fiskal yang signifikan, tercermin dari proyeksi penurunan pendapatan daerah dan penyesuaian belanja yang ketat dalam Raperda Perubahan APBD Tahun Anggaran 2025. Dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada Senin, 15 September 2025, Bupati Bondowoso Abdul Hamid Wahid memaparkan nota penjelasan mengenai perubahan anggaran ini, yang disebutnya sebagai respons terhadap dinamika keuangan daerah serta implementasi kebijakan nasional tentang efisiensi belanja. Penyesuaian ini menyoroti perlunya pemerintah daerah untuk lebih cermat dalam mengelola sumber daya keuangan di tengah keterbatasan.

Secara keseluruhan, target pendapatan daerah Kabupaten Bondowoso diproyeksikan mengalami koreksi menurun. Semula ditetapkan sebesar Rp2,022 triliun, angka tersebut kini direvisi menjadi Rp2,000 triliun. Penurunan ini, meskipun terlihat minor secara persentase, mengindikasikan adanya pengurangan potensi penerimaan sebesar Rp21,49 miliar yang harus diantisipasi oleh pemerintah daerah. Penurunan ini memaksa eksekutif untuk mengkaji ulang prioritas dan efektivitas program-program yang telah direncanakan sebelumnya.

Namun, tidak semua komponen pendapatan daerah menunjukkan tren negatif. Pendapatan Asli Daerah (PAD) justru menunjukkan kinerja yang menggembirakan dengan peningkatan yang cukup signifikan. Dari target awal Rp300,22 miliar, PAD diperkirakan melonjak menjadi Rp323,91 miliar, mencatatkan kenaikan sebesar Rp23,96 miliar. Kenaikan PAD ini menjadi indikator positif atas upaya pemerintah daerah dalam mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan lokal. Kontributor utama peningkatan ini berasal dari sektor retribusi daerah, yang naik Rp20,07 miliar, serta lain-lain PAD yang sah yang melonjak Rp11,40 miliar. Peningkatan retribusi ini bisa diartikan sebagai hasil dari peningkatan pelayanan publik yang berbayar atau penyesuaian tarif yang lebih realistis, sementara kenaikan lain-lain PAD yang sah dapat mencakup beragam sumber seperti hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan atau pendapatan denda. Sebaliknya, penerimaan dari pajak daerah justru terkoreksi turun Rp7,78 miliar, menjadi Rp91,18 miliar, yang mungkin disebabkan oleh perlambatan aktivitas ekonomi tertentu atau penyesuaian basis pajak.

Berbanding terbalik dengan kinerja PAD yang positif, pos pendapatan transfer dari pemerintah pusat dan antar daerah justru mengalami penurunan tajam. Awalnya tercatat Rp1,679 triliun, pos ini kini direvisi menjadi Rp1,632 triliun, menandakan pengurangan sebesar Rp47,16 miliar. Penurunan ini sebagian besar didominasi oleh transfer pemerintah pusat yang berkurang drastis sebesar Rp56,93 miliar. Kondisi ini bisa mencerminkan adanya perubahan kebijakan alokasi dana dari pusat, atau pengurangan dana transfer umum dan khusus yang diterima daerah. Meskipun demikian, ada sedikit angin segar dari transfer antar daerah yang justru menunjukkan kenaikan sebesar Rp9,76 miliar, mengindikasikan adanya potensi kerja sama atau bagi hasil yang lebih baik dengan daerah tetangga. Sementara itu, komponen lain-lain pendapatan sah tercatat naik tipis, dari Rp42,15 miliar menjadi Rp44,12 miliar, memberikan kontribusi kecil namun stabil bagi total pendapatan daerah.

Penyesuaian anggaran tidak hanya terjadi pada sisi pendapatan, tetapi juga merambah ke sisi belanja daerah. Dari total anggaran belanja semula Rp2,162 triliun, pemerintah daerah melakukan pemangkasan sebesar Rp65,11 miliar, sehingga total belanja menjadi Rp2,097 triliun. Pemangkasan ini merupakan langkah strategis untuk menjaga keseimbangan fiskal di tengah penurunan pendapatan. Belanja operasi, sebagai komponen terbesar dalam APBD, terkoreksi dari Rp1,657 triliun menjadi Rp1,598 triliun. Penurunan ini mencakup beberapa pos vital: belanja pegawai turun Rp9,34 miliar, belanja barang dan jasa turun Rp41,72 miliar, belanja hibah berkurang Rp6,78 miliar, dan bantuan sosial turun Rp548 juta. Pengurangan belanja operasi ini menunjukkan upaya efisiensi yang komprehensif, mulai dari pengetatan pengeluaran rutin pegawai, pengurangan kegiatan operasional yang kurang prioritas, hingga evaluasi ulang penerima hibah dan bantuan sosial agar lebih tepat sasaran.

Belanja modal, yang krusial untuk pembangunan infrastruktur dan investasi jangka panjang, juga tak luput dari pemangkasan. Dari Rp171,30 miliar, anggaran belanja modal direvisi menjadi Rp159,39 miliar. Pemangkasan paling besar terjadi pada sektor jalan, jaringan, dan irigasi yang berkurang Rp19,84 miliar, serta belanja tanah yang hilang Rp1,01 miliar. Hal ini tentu berdampak pada laju pembangunan infrastruktur dasar yang sangat dibutuhkan masyarakat. Namun, menariknya, terdapat peningkatan pada belanja peralatan dan mesin sebesar Rp12,28 miliar. Kenaikan ini dapat diartikan sebagai prioritas pemerintah daerah untuk memperbarui atau melengkapi peralatan esensial yang menunjang pelayanan publik atau meningkatkan efisiensi kerja aparatur, meskipun di tengah keterbatasan anggaran pembangunan fisik.

Salah satu perubahan yang paling menonjol dan menarik perhatian adalah peningkatan signifikan pada belanja tidak terduga. Dari semula Rp4,3 miliar, anggaran untuk pos ini melonjak drastis menjadi Rp13,07 miliar, bertambah sebesar Rp8,77 miliar. Kenaikan substansial ini mengindikasikan adanya antisipasi pemerintah daerah terhadap potensi risiko atau kejadian luar biasa yang mungkin terjadi di tahun 2025, seperti bencana alam, pandemi, atau kebutuhan mendesak lainnya yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Peningkatan ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya memiliki dana darurat yang memadai di tengah ketidakpastian global dan regional. Adapun belanja transfer, yang mencakup dana bagi hasil atau bantuan keuangan kepada pemerintah desa, sedikit terkoreksi dari Rp329,40 miliar menjadi Rp325,82 miliar, menunjukkan penyesuaian minor dalam alokasi dana ke entitas di bawahnya.

Pada sisi pembiayaan, penerimaan yang bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya juga menunjukkan tren penurunan drastis. Dari Rp140,17 miliar, SiLPA kini hanya tersisa Rp96,55 miliar, berkurang Rp43,61 miliar. Penurunan SiLPA ini berarti pemerintah daerah memiliki cadangan kas yang lebih kecil dari tahun sebelumnya, yang dapat membatasi fleksibilitas fiskal dalam menghadapi kebutuhan mendesak atau menutupi kekurangan anggaran di kemudian hari. Kondisi ini semakin menekankan perlunya pengelolaan anggaran yang sangat prudent dan efisien.

Dalam paparannya, Bupati Abdul Hamid Wahid menegaskan komitmen pemerintah daerah. "Meski kondisi fiskal terbatas, arah kebijakan belanja tetap difokuskan pada sektor produktif dan pelayanan masyarakat. Tema pembangunan 2025 adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan ekonomi secara inklusif untuk kesejahteraan masyarakat," tegas Bupati. Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa meskipun harus berhadapan dengan anggaran yang lebih ketat, pemerintah daerah tidak akan mengorbankan program-program yang esensial untuk pembangunan jangka panjang dan peningkatan kualitas hidup warga. Fokus pada sektor produktif berarti investasi yang mampu menciptakan nilai tambah ekonomi, seperti dukungan untuk UMKM, pertanian, atau pariwis. Sementara itu, pelayanan masyarakat mencakup sektor-sektor dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.

Strategi yang ditempuh Bondowoso dalam menghadapi tantangan fiskal ini melibatkan optimalisasi sumber daya lokal dan realokasi belanja. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi kunci dalam menjaga kemandirian fiskal di tengah ketidakpastian transfer dari pusat. Hal ini menuntut inovasi dalam penggalian potensi pajak dan retribusi daerah, serta peningkatan efisiensi dalam pengelolaan aset daerah. Di sisi belanja, pemangkasan anggaran operasional dan modal harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak mengganggu kinerja pelayanan publik esensial atau menghambat program pembangunan strategis. Peningkatan belanja tidak terduga juga menjadi cerminan dari pendekatan antisipatif pemerintah daerah terhadap potensi krisis atau kebutuhan mendesak di masa mendatang.

Raperda Perubahan APBD 2025 ini akan menjadi landasan penting bagi arah pembangunan Bondowoso di tahun berikutnya. Setelah dipaparkan oleh Bupati, dokumen ini selanjutnya akan dibahas secara intensif bersama DPRD. Proses pembahasan ini akan melibatkan pendalaman setiap pos anggaran, diskusi mengenai prioritas program, dan penyesuaian yang mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa anggaran yang disepakati benar-benar responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan sesuai dengan kapasitas fiskal daerah. Keterlibatan DPRD dalam proses ini sangat vital untuk menjamin akuntabilitas, transparansi, dan legitimasi dari kebijakan anggaran yang akan ditetapkan menjadi peraturan daerah. Dengan demikian, diharapkan APBD Perubahan 2025 dapat menjadi instrumen yang efektif dalam mewujudkan visi pembangunan Bondowoso meskipun di tengah kondisi fiskal yang penuh tantangan.

Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id

Exit mobile version