Jember (rakyatindependen.id) – Fenomena perundungan atau bullying telah menjadi isu krusial yang meresahkan berbagai lapisan masyarakat, terutama dalam lingkungan pendidikan dan perkembangan anak-anak serta remaja. Mengakui urgensi permasalahan ini, Erti Ikhtiarini Dewi, seorang dosen pakar keperawatan jiwa dari Fakultas Keperawatan Universitas Jember, di Kabupaten Jember, Jawa Timur, baru-baru ini memaparkan secara mendalam mengenai berbagai bentuk perundungan, dampak destruktifnya, serta peran sentral keluarga dalam upaya pencegahan dan penanganannya. Paparan tersebut disampaikan dalam sebuah kegiatan edukasi bertajuk "Peran Keluarga dalam Mencegah Bullying dan Kesehatan Mental Anak dan Remaja" yang diselenggarakan di Gedung Kewirausahaan Unej pada hari Rabu, 15 Oktober 2025.
Erti Ikhtiarini Dewi membuka sesinya dengan memberikan definisi yang komprehensif mengenai bullying. Menurutnya, bullying didefinisikan sebagai perilaku agresif yang dilakukan secara berulang-ulang, dengan tujuan yang jelas untuk menyakiti atau mengintimidasi individu lain, baik itu secara fisik, verbal, maupun psikologis. Definisi ini menyoroti tiga elemen kunci: agresi, pengulangan, dan niat untuk menyakiti, yang membedakan bullying dari konflik biasa atau insiden tunggal. Perilaku ini seringkali melibatkan ketidakseimbangan kekuatan, di mana pelaku memiliki dominasi tertentu (fisik, sosial, atau psikologis) atas korban.
Dalam pemaparannya, Erti mengidentifikasi empat bentuk utama perundungan yang lazim terjadi di lingkungan anak-anak dan remaja, masing-masing dengan karakteristik dan modus operandi yang berbeda namun sama-sama merusak. Pemahaman akan bentuk-bentuk ini menjadi langkah awal yang penting dalam upaya identifikasi dan intervensi dini.
1. Bullying Fisik:
Bentuk perundungan ini adalah yang paling mudah dikenali dan seringkali meninggalkan bukti fisik yang kasat mata. Bullying fisik diwujudkan dalam bentuk kekerasan langsung seperti memukul, menendang, mendorong, menjambak, mencubit, atau agresi fisik lainnya yang bertujuan untuk menimbulkan rasa sakit atau cedera fisik pada korban. Selain itu, merusak atau mengambil barang milik korban juga dapat dikategorikan sebagai bullying fisik karena secara langsung merugikan fisik korban. Dampak dari bullying fisik tidak hanya terbatas pada luka luar, tetapi juga meninggalkan trauma psikologis yang mendalam, seperti rasa takut, cemas, dan hilangnya rasa aman.
2. Bullying Verbal:
Meskipun tidak meninggalkan luka fisik, bullying verbal seringkali memiliki dampak psikologis yang sama, bahkan lebih dalam dan tahan lama. Bentuk ini dilakukan melalui penggunaan kata-kata yang menyakitkan, merendahkan, atau mengancam. Contohnya termasuk menyebut nama buruk (name-calling), menghina penampilan atau kemampuan seseorang, merendahkan martabat, menyebarkan gosip negatif, mengancam dengan kekerasan, atau bahkan memaki. Bullying verbal merusak harga diri dan kepercayaan diri korban, membuat mereka merasa tidak berharga, malu, dan terisolasi. Luka yang ditimbulkan oleh kata-kata kasar seringkali lebih sulit sembuh dibandingkan luka fisik.
3. Bullying Sosial (Relasional):
Bullying sosial atau relasional adalah bentuk perundungan yang lebih halus namun tidak kalah kejam. Ini berfokus pada perusakan reputasi sosial atau hubungan sosial korban. Perilaku ini dapat berupa penyebaran rumor atau fitnah, mengisolasi seseorang dari kelompok pertemanan, mengucilkan dalam aktivitas sosial, atau mempermalukan di depan umum. Pelaku bullying sosial seringkali menggunakan manipulasi dan gosip untuk mengendalikan hubungan sosial dan status korban, membuat korban merasa terbuang dan tidak memiliki tempat. Dampaknya sangat serius terhadap perkembangan sosial dan emosional anak, karena manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan penerimaan.
4. Cyberbullying:
Dengan semakin meluasnya penggunaan teknologi digital dan media sosial, cyberbullying menjadi bentuk perundungan yang paling modern dan memiliki jangkauan yang sangat luas. Cyberbullying adalah perundungan yang menggunakan platform digital seperti media sosial, pesan instan, email, atau forum online untuk melecehkan, mengancam, mempermalukan, atau menyebarkan informasi negatif tentang seseorang secara berulang. Karakteristik unik dari cyberbullying adalah sifatnya yang anonim (pelaku bisa bersembunyi di balik akun palsu), jangkauan audiens yang tak terbatas, dan kemampuan untuk terjadi kapan saja dan di mana saja (24/7). Dampaknya bisa sangat menghancurkan karena korban dapat merasa terperangkap tanpa jalan keluar, dengan rasa malu dan isolasi yang diperparah oleh eksposur publik yang luas.
Menurut Erti Ikhtiarini Dewi, dampak bullying sangat merusak dan multi-dimensi, tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi pelaku dan bahkan saksi mata. Korban bullying berisiko tinggi mengalami berbagai gangguan kesehatan fisik dan mental. Secara fisik, mereka mungkin mengalami kesulitan tidur, sakit kepala, sakit perut, atau masalah kesehatan lainnya akibat stres kronis. Secara psikologis, dampak yang lebih parah mencakup depresi klinis, kecemasan berlebihan (termasuk fobia sosial atau gangguan kecemasan umum), stres pasca-trauma, kesulitan berkonsentrasi yang berujung pada menurunnya prestasi akademik, dan hilangnya minat pada kegiatan yang dulunya disenangi. Dampak jangka panjang bisa lebih mengerikan, seperti trauma mendalam yang sulit diatasi, kesulitan membangun dan mempertahankan hubungan sosial yang sehat, serta dalam kasus ekstrem, pikiran untuk bunuh diri sebagai jalan keluar dari penderitaan.
Sementara itu, Erti juga menegaskan bahwa pelaku bullying juga tidak luput dari konsekuensi negatif. Mereka berisiko lebih tinggi mengalami masalah akademis, perilaku kekerasan di kemudian hari, penyalahgunaan zat terlarang, dan terlibat dalam tindakan kriminalitas saat dewasa. Pola perilaku agresif yang tidak diatasi sejak dini dapat mengakar dan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan mereka. Bahkan, para saksi mata (bystanders) yang tidak melakukan intervensi juga bisa mengalami dampak psikologis, seperti rasa bersalah, takut menjadi korban berikutnya, atau desensitisasi terhadap kekerasan.
Mengingat urgensi dan kompleksitas masalah ini, Erti Ikhtiarini Dewi menekankan bahwa keluarga memiliki peran yang sangat krusial dan tak tergantikan dalam mencegah bullying serta menjaga kesehatan mental anak. Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama bagi anak, fondasi tempat nilai-nilai, kepercayaan diri, dan keterampilan sosial dibangun.
Pilar Pertama: Menciptakan Lingkungan yang Penuh Kasih, Aman, dan Mendukung.
Erti menjelaskan bahwa ini adalah fondasi utama. Lingkungan rumah yang positif, di mana anak merasa dicintai, dihargai, dan aman untuk menjadi diri sendiri, adalah benteng pertama terhadap bullying. Orang tua perlu menjadi role model yang baik, menunjukkan empati, rasa hormat, dan kasih sayang dalam interaksi sehari-hari. Menghindari perilaku agresif, sarkasme yang menyakitkan, atau merendahkan di rumah adalah esensial. Sebaliknya, mengajarkan nilai moral dan etika, seperti kejujuran, kebaikan, keadilan, dan menghargai perbedaan, akan membentuk karakter anak yang kuat dan berempati. Anak yang tumbuh dalam lingkungan ini cenderung memiliki harga diri yang tinggi dan lebih kecil kemungkinannya menjadi korban atau pelaku bullying.
Pilar Kedua: Membangun Komunikasi Terbuka dan Mendalam.
Komunikasi yang efektif adalah kunci. Erti menekankan pentingnya menciptakan ruang di mana anak merasa aman dan nyaman untuk berbagi pengalaman, perasaan, dan kekhawatiran mereka tanpa takut dihakimi atau diremehkan. Orang tua perlu menjadi pendengar aktif, memberikan perhatian penuh, dan menanggapi dengan empati. Ini berarti tidak hanya mendengar kata-kata mereka, tetapi juga memahami emosi di baliknya. Komunikasi terbuka akan meningkatkan kepercayaan diri anak, mengurangi tingkat stres dan kecemasan, serta membantu mereka mengatasi masalah sebelum menjadi lebih besar. Pertanyaan-pertanyaan terbuka, ekspresi dukungan emosional yang hangat, dan validasi perasaan anak adalah teknik komunikasi yang sangat berharga.
Pilar Ketilar: Membekali Anak dengan Keterampilan Hidup Esensial.
Selain lingkungan dan komunikasi, anak-anak juga perlu dibekali dengan keterampilan praktis untuk menghadapi dunia luar. Erti menguraikan beberapa keterampilan penting:
- Kepercayaan Diri: Ajarkan anak untuk mengenali dan menghargai kekuatan mereka sendiri. Beri mereka kesempatan untuk mengambil keputusan kecil dan belajar dari kesalahan. Pujilah usaha mereka, bukan hanya hasil.
- Kemampuan Membela Diri (Assertive): Penting untuk mengajari anak cara menyatakan kebutuhan dan batasan mereka dengan tegas namun sopan, tanpa bersikap agresif. Ini termasuk mengatakan "tidak" pada hal yang tidak nyaman dan meminta bantuan saat dibutuhkan.
- Ketahanan Mental (Resilience): Ajarkan anak untuk bangkit kembali dari kegagalan dan kesulitan. Ini melibatkan pengembangan kemampuan memecahkan masalah, melihat tantangan sebagai peluang, dan tidak mudah menyerah.
- Keterampilan Sosial: Dorong anak untuk berinteraksi dengan berbagai kelompok teman, belajar bernegosiasi, berbagi, dan berkolaborasi. Mengembangkan empati dan kemampuan memahami perspektif orang lain adalah kunci untuk interaksi sosial yang sehat.
- Pengelolaan Emosi: Anak perlu belajar mengidentifikasi, memahami, dan mengekspresikan emosi mereka secara sehat. Ajarkan mereka untuk mengubah pikiran negatif menjadi positif, mencari solusi daripada terjebak dalam masalah, dan menggunakan teknik relaksasi saat merasa kewalahan.
Pilar Keempat: Edukasi, Pengawasan, dan Gaya Hidup Sehat.
Erti juga mengingatkan bahwa keluarga wajib melakukan edukasi berkelanjutan tentang bullying dan pengawasan yang bijak, terutama di era digital.
- Manajemen Stres: Bantu anak mengelola stres dengan memperkenalkan berbagai kegiatan yang menyenangkan dan sehat. Berolahraga secara teratur dapat melepaskan endorfin yang meningkatkan suasana hati. Melakukan hobi atau aktivitas kreatif seperti menggambar, menulis, atau bermain musik dapat menjadi saluran ekspresi yang positif. Journaling atau menulis buku harian juga merupakan cara efektif untuk memproses emosi dan pikiran.
- Pola Tidur yang Sehat: Tidur yang cukup dan berkualitas sangat memengaruhi fungsi otak, konsentrasi, suasana hati, dan keseimbangan emosional. Pastikan anak memiliki rutinitas tidur yang konsisten dan lingkungan tidur yang nyaman.
- Pola Makan yang Bergizi: Asupan nutrisi yang seimbang sangat penting untuk kesehatan fisik dan mental. Makanan yang kaya vitamin, mineral, dan asam lemak omega-3 dapat mendukung fungsi otak yang optimal dan membantu menjaga stabilitas emosi. Hindari makanan tinggi gula dan olahan yang dapat memicu perubahan suasana hati.
- Edukasi Digital dan Pengawasan: Di era cyberbullying, orang tua harus mendidik anak tentang etika daring, risiko online, dan cara melaporkan konten atau perilaku yang tidak pantas. Pengawasan yang sehat terhadap aktivitas digital anak, tanpa melanggar privasi secara berlebihan, dapat membantu mencegah cyberbullying.
Erti Ikhtiarini Dewi menyimpulkan bahwa anak dengan kesehatan mental yang baik cenderung lebih percaya diri, mudah beradaptasi dengan perubahan, dan mampu menghadapi tantangan hidup secara positif. Mereka memiliki fondasi yang kuat untuk tumbuh menjadi individu yang utuh dan produktif. Lingkungan rumah yang positif, penuh cinta, dan mendukung adalah fondasi utama bagi anak untuk menemukan kasih sayang, mengembangkan potensi diri dengan baik, dan menjadi pribadi yang tangguh. Oleh karena itu, investasi waktu dan perhatian orang tua dalam menciptakan lingkungan seperti ini merupakan investasi terbaik untuk masa depan anak dan masyarakat secara keseluruhan. Upaya pencegahan bullying adalah tanggung jawab kolektif yang dimulai dari rumah.
rakyatindependen.id