TKD Dipangkas Rp243 Miliar, DPRD Ponorogo Ingatkan Eksekutif Tak Serampangan Susun Anggaran

DPRD Ponorogo, sebagai representasi suara rakyat, tidak tinggal diam menghadapi tantangan ini. Lembaga legislatif tersebut secara tegas mewanti-wanti agar pihak eksekutif tidak gegabah dan serampangan dalam menentukan skala prioritas pembangunan. Penurunan TKD yang signifikan ini telah mengoreksi proyeksi APBD 2026 yang semula diperkirakan mencapai Rp2,5 triliun, kini menyusut drastis menjadi sekitar Rp2,2 triliun. Angka koreksi sebesar Rp300 miliar ini menunjukkan betapa krusialnya penyesuaian yang harus dilakukan, tidak hanya pada sisi belanja, tetapi juga pada proyeksi pendapatan daerah.

Ketua DPRD Ponorogo, Dwi Agus Prayitno, menguraikan lebih lanjut mengenai dampak pemangkasan ini. Ia menjelaskan bahwa dari total anggaran tersebut, komponen pendapatan transfer yang sebelumnya diproyeksikan mencapai Rp1,8 triliun kini terkoreksi menjadi hanya sekitar Rp1,6 triliun. Pemangkasan ini bersifat menyeluruh, menyentuh berbagai pos strategis yang selama ini menjadi tulang punggung pembiayaan program di daerah. Pos-pos tersebut meliputi Dana Desa (DD) yang krusial untuk pembangunan di tingkat paling bawah, Insentif Fiskal yang menjadi penghargaan atas kinerja daerah, Dana Bagi Hasil (DBH) dari sumber daya alam, hingga Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang memiliki porsi sangat besar dalam belanja daerah.

"Paling berdampak tentu DAU, karena ini meliputi gaji dan anggaran kegiatan pemerintah daerah yang sangat fundamental untuk operasional harian dan program-program pokok," tegas Dwi Agus Prayitno, pada Selasa (15/10/2025). Pernyataan ini menyoroti betapa sentralnya DAU dalam menjaga stabilitas keuangan dan kinerja birokrasi daerah. Penurunan DAU secara langsung akan mempengaruhi kemampuan Pemkab dalam membayar gaji pegawai, membiayai operasional kantor, serta menjalankan program-program esensial yang telah direncanakan.

Pria yang akrab disapa Kang Wie itu mengungkapkan, dalam pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) sebelumnya, DAU Ponorogo semula diproyeksikan sekitar Rp1 triliun. Namun, setelah terbitnya Surat Edaran (SE) Kementerian Keuangan Nomor S-62/PK/2025 tentang penyampaian rancangan alokasi transfer ke daerah tahun 2026, alokasi DAU untuk Ponorogo langsung menyusut sebesar Rp131 miliar. Ini bukan sekadar penurunan angka, melainkan pukulan telak bagi fleksibilitas anggaran daerah. Dengan demikian, DAU yang tersisa kini hanya sekitar Rp965 miliar. Ironisnya, 90 persen dari jumlah tersebut secara hukum harus digunakan untuk belanja wajib yang bersifat mengikat, seperti pembayaran gaji pegawai, cicilan utang daerah, biaya listrik, air, dan berbagai operasional dasar lainnya yang tidak bisa ditunda. "Hitungan kasar kami, setelah dipotong gaji pegawai, bayar utang, listrik, dan lainnya, tersisa sekitar Rp32 miliar yang bisa dialokasikan Pemkab untuk kegiatan selama setahun," bebernya. Angka Rp32 miliar ini sangatlah minim untuk membiayai seluruh program pembangunan, peningkatan layanan publik, dan inisiatif baru di sebuah kabupaten selama satu tahun penuh, menunjukkan urgensi peninjauan ulang prioritas secara radikal.

Kondisi fiskal yang menantang ini mendorong Badan Anggaran (Banggar) DPRD Ponorogo untuk segera bersiap menggelar rapat koordinasi intensif bersama pihak eksekutif. Tujuan utama rapat ini adalah untuk menelaah ulang arah kebijakan belanja daerah agar tetap selaras dengan prinsip prioritas dan efisiensi yang ketat. Diskusi ini diharapkan tidak hanya fokus pada pemotongan, tetapi juga pada strategi inovatif untuk memaksimalkan setiap rupiah yang ada. "Nanti kami panggil Pemkab untuk membahas bersama. Bukan hanya di Ponorogo, tapi kebijakan nasional ini berlaku untuk seluruh daerah," pungkas Kang Wie, menegaskan bahwa ini adalah isu nasional yang membutuhkan respons terkoordinasi dan adaptif dari setiap pemerintah daerah.

Pemangkasan dana transfer ini dipastikan bakal berdampak luas terhadap berbagai sektor di Ponorogo. Proyek-proyek pembangunan infrastruktur, mulai dari perbaikan jalan desa, pembangunan fasilitas kesehatan primer, hingga pengembangan jaringan irigasi, berpotensi mengalami penundaan atau bahkan pembatalan. Layanan publik dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial juga akan menghadapi tekanan anggaran yang signifikan, menuntut efisiensi tanpa mengurangi kualitas pelayanan. Alokasi belanja sosial, yang selama ini menjadi jaring pengaman bagi masyarakat rentan, juga perlu ditinjau ulang agar tetap tepat sasaran.

Namun, di tengah tantangan ini, DPRD Ponorogo berharap momentum ini dapat menjadi uji ketangguhan dan kreativitas pemerintah daerah. Ini adalah kesempatan bagi eksekutif untuk berinovasi dalam mengelola keuangan, menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara lebih optimal, dan menjaga stabilitas pembangunan tanpa membebani masyarakat. Optimalisasi PAD dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti peningkatan efisiensi pemungutan pajak daerah dan retribusi, pengembangan sektor pariwisata berbasis budaya dan alam, serta peningkatan kemudahan berusaha untuk menarik investasi. Selain itu, kolaborasi dengan sektor swasta melalui skema kemitraan pemerintah dan badan usaha (KPBU) juga dapat menjadi alternatif pembiayaan proyek-proyek strategis.

Diperlukan pula transparansi penuh dalam setiap keputusan anggaran, melibatkan partisipasi publik agar masyarakat memahami tantangan yang dihadapi dan mendukung langkah-langkah efisiensi yang diambil. Proses pembahasan anggaran harus menjadi arena untuk menyelaraskan harapan masyarakat dengan realitas fiskal yang ada, memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan memberikan nilai tambah maksimal bagi kesejahteraan Ponorogo.

Dengan anggaran yang lebih terbatas, setiap program dan kegiatan harus dievaluasi ulang berdasarkan urgensi, dampak, dan keberlanjutan. Program-program yang kurang prioritas atau tidak memberikan dampak signifikan mungkin perlu ditunda atau dihilangkan. Sebaliknya, program-program yang esensial untuk pemenuhan hak dasar masyarakat dan penggerak ekonomi daerah harus tetap menjadi fokus utama. Ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat, visi jangka panjang, dan kemampuan untuk membuat keputusan sulit demi kepentingan terbaik warga Ponorogo.

Pada akhirnya, tantangan pemangkasan TKD ini bukan hanya sekadar masalah angka, tetapi juga ujian bagi tata kelola pemerintahan yang baik, inovasi daerah, dan kemampuan beradaptasi di tengah ketidakpastian ekonomi. Dengan kolaborasi yang solid antara eksekutif dan legislatif, serta dukungan dari seluruh elemen masyarakat, Ponorogo diharapkan mampu melewati masa sulit ini dan terus melaju menuju pembangunan yang lebih mandiri dan berkelanjutan.

Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id

Exit mobile version