Misteri Tersangka di Balik Runtuhnya Mushola Al Khoziny: Lebih dari Sebulan Pascatragedi, Kapolda Jatim Prioritaskan Penanggulangan Bencana

Tragedi memilukan yang merenggut nyawa 63 santri di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny Sidoarjo pada 29 September 2025 masih menyisakan duka mendalam dan pertanyaan besar. Lebih dari sebulan berlalu sejak peristiwa ambruknya bangunan mushola tersebut, proses hukum untuk mengungkap pihak yang bertanggung jawab secara pidana masih berjalan lambat, bahkan belum ada satu pun tersangka yang ditetapkan. Situasi ini tentu menimbulkan kekecewaan dan desakan publik akan keadilan, terutama dari keluarga korban yang kehilangan orang-orang terkasih mereka.

Penyelidikan awal yang dilakukan oleh tim gabungan dari Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) dan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Timur sebenarnya telah menaikkan status kasus ini dari penyelidikan menjadi penyidikan pada 10 Oktober 2025. Peningkatan status ini seharusnya menjadi indikasi adanya bukti permulaan yang cukup kuat untuk menduga terjadinya tindak pidana, dan secara normatif, akan diikuti dengan penetapan tersangka dalam waktu yang tidak terlalu lama. Namun, hingga awal November 2025, kemajuan signifikan dalam penyidikan belum juga diumumkan kepada publik.

Sejak awal, penyidik telah memeriksa setidaknya 17 saksi dalam tahap penyelidikan. Jumlah saksi ini terbilang cukup banyak dan seharusnya telah memberikan gambaran awal yang komprehensif mengenai kronologi kejadian, pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan atau pemeliharaan mushola, serta potensi kelalaian yang mungkin terjadi. Namun, hingga saat ini, identitas para saksi tersebut maupun substansi keterangan mereka belum diungkapkan secara rinci, menyisakan ruang spekulasi di tengah masyarakat.

Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Nanang Avianto, dalam kesempatan terpisah, memberikan tanggapan yang cenderung umum dan mengedepankan aspek lain. Usai memimpin apel gelar pasukan kesiapan tanggap darurat bencana di Mapolda Jatim pada Rabu pagi (5/11/2025), Irjen Pol Nanang Avianto menegaskan bahwa saat ini pihaknya masih memprioritaskan penanganan tanggap darurat bencana. "Sementara kita fokus penanggulangan bencana dulu ya. Nanti pada saatnya kalau sudah proses kita sampaikan," ujar Kapolda. Pernyataan ini, meskipun terdengar logis dalam konteks penanganan darurat, menimbulkan pertanyaan di kalangan publik mengenai prioritas penegakan hukum dalam kasus pidana yang jelas-jelas telah terjadi. Apakah fokus pada tanggap darurat berarti proses hukum harus dikesampingkan sementara? Atau apakah ini hanya cara untuk mengulur waktu di tengah kompleksitas penyelidikan yang membutuhkan ketelitian tinggi?

Di sisi lain, Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Jules Abraham Abast juga membenarkan bahwa penyidikan masih berjalan tanpa perkembangan berarti. Melalui pesan WhatsApp, Abast menulis singkat, "Belum ada perkembangan, masih proses sidik." Ketika ditanya lebih lanjut mengenai jumlah saksi yang telah diperiksa dalam tahap penyidikan, Abast mengaku belum menerima laporan terbaru dari penyidik, dengan kalimat, "Dari penyidik belum ada info." Singkatnya tanggapan tersebut, "Belum ada perkembangan, masih proses sidik," mengindikasikan bahwa tahapan penyidikan yang mestinya lebih intensif dan mengarah pada penetapan tersangka, belum menunjukkan kemajuan berarti. Keterangan bahwa belum ada informasi terbaru dari penyidik juga bisa diinterpretasikan sebagai kurangnya koordinasi internal atau memang belum ada hasil konklusif yang bisa disampaikan ke publik.

Peristiwa tragis runtuhnya Mushola Al Khoziny sendiri terjadi pada tanggal 29 September 2025, sekitar pukul 09.00 WIB, ketika ratusan santri tengah beraktivitas di dalam bangunan. Musibah ini seketika mengubah suasana tenang pondok pesantren menjadi kepanikan dan duka yang mendalam. Reruntuhan bangunan menimpa para santri yang sedang menuntut ilmu, menyebabkan banyak korban jiwa dan luka-luka. Tim penyelamat dan relawan segera diterjunkan untuk melakukan evakuasi. Upaya penyelamatan berlangsung dramatis, dengan harapan menemukan lebih banyak korban selamat di bawah tumpukan puing.

Dari total santri yang berada di dalam mushola saat kejadian, sebanyak 104 santri berhasil diselamatkan, meskipun sebagian besar mengalami luka-luka dan trauma berat. Namun, jumlah korban meninggal dunia sangatlah besar, mencapai 63 santri. Angka ini menjadikan tragedi ini sebagai salah satu insiden struktural terburuk yang pernah terjadi di lembaga pendidikan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Setelah seluruh korban berhasil dievakuasi dan penanganan medis diberikan kepada yang terluka, fokus bergeser ke penyelidikan untuk mencari tahu penyebab pasti ambruknya bangunan dan siapa yang harus bertanggung jawab.

Proses penyidikan atas insiden ini memerlukan pendekatan multidisiplin yang melibatkan tidak hanya penyidik kepolisian, tetapi juga tim ahli dari berbagai bidang. Tim forensik, insinyur sipil, arsitek, dan ahli material bangunan menjadi elemen krusial dalam mengungkap penyebab pasti ambruknya mushola tersebut. Mereka akan meneliti sisa-sisa reruntuhan, menganalisis kualitas beton, baja, dan material lain yang digunakan, serta membandingkannya dengan standar konstruksi yang berlaku. Apakah ada indikasi penggunaan material di bawah standar? Apakah desain struktur memiliki kelemahan fatal? Atau apakah ada faktor eksternal lain seperti kondisi tanah atau cuaca ekstrem yang luput dari perhatian?

Para saksi yang telah diperiksa, yang berjumlah 17 orang pada tahap awal penyelidikan, kemungkinan besar mencakup pihak manajemen pondok pesantren, para santri yang selamat, pekerja konstruksi yang terlibat dalam pembangunan atau renovasi terakhir, serta pihak-pihak terkait lainnya seperti penyedia material atau konsultan. Keterangan mereka akan sangat penting untuk melengkapi gambaran kronologi, mengetahui riwayat pembangunan atau renovasi mushola, serta mengidentifikasi potensi kelalaian atau pelanggaran prosedur. Namun, untuk mencapai kesimpulan yang kuat dan menetapkan tersangka, penyidik membutuhkan lebih dari sekadar kesaksian. Mereka memerlukan bukti fisik dan hasil analisis ilmiah yang tak terbantahkan.

Tuduhan yang mungkin muncul dalam kasus semacam ini bisa berkisar dari kelalaian yang menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP), kelalaian profesional, hingga pelanggaran standar bangunan yang dapat dikenakan sanksi pidana. Pihak-pihak yang berpotensi menjadi tersangka sangat beragam, mulai dari kontraktor pelaksana, arsitek perencana, pengawas proyek, hingga pihak manajemen pondok pesantren yang bertanggung jawab atas pengawasan dan pemeliharaan bangunan. Penentuan siapa yang paling bertanggung jawab akan sangat bergantung pada hasil analisis teknis dan bukti-bukti yang terkumpul, yang bisa menunjukkan di mana letak kesalahan fatal yang berujung pada keruntuhan.

Kompleksitas kasus ini juga diperparah oleh kemungkinan adanya banyak pihak yang terlibat dalam rantai pembangunan atau renovasi mushola. Bisa jadi ada sub-kontraktor, pemasok material yang berbeda, atau bahkan perubahan desain di tengah jalan tanpa persetujuan yang memadai. Setiap detail kecil ini harus ditelusuri dan diverifikasi secara cermat untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam penetapan tersangka. Selain itu, aspek tekanan dari berbagai pihak, baik dari keluarga korban maupun institusi terkait, juga bisa memengaruhi jalannya penyidikan. Namun, penyidik memiliki kewajiban untuk bekerja secara profesional dan independen, tanpa terpengaruh oleh tekanan eksternal.

Meskipun Kapolda Jatim menyatakan fokus pada penanggulangan bencana, publik tetap menanti kejelasan mengenai kemajuan penyidikan. Penanggulangan bencana adalah langkah kemanusiaan yang mendesak, tetapi penegakan hukum adalah pilar keadilan yang tak kalah penting, terutama dalam kasus yang merenggut banyak nyawa. Ketiadaan tersangka lebih dari sebulan setelah kejadian menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas dan kecepatan proses hukum. Ini juga berpotensi mengikis kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus besar dan kompleks.

Keluarga korban, yang masih berduka mendalam atas kehilangan orang-orang terkasih mereka, tentu mengharapkan kejelasan dan keadilan. Mereka membutuhkan kepastian bahwa pihak yang bertanggung jawab akan dihukum setimpal atas kelalaian yang menyebabkan tragedi ini. Selain itu, kasus ini juga menjadi pengingat penting bagi seluruh lembaga pendidikan dan fasilitas publik lainnya untuk selalu memastikan keamanan dan kelayakan bangunan. Peristiwa di Al Khoziny harus menjadi pelajaran berharga agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan. Standar bangunan, pengawasan konstruksi, dan pemeliharaan rutin harus menjadi prioritas utama.

Tekanan publik untuk segera mengungkap tersangka kemungkinan akan terus meningkat seiring berjalannya waktu. Transparansi dalam proses penyidikan, meskipun dengan tetap menjaga kerahasiaan materi penyelidikan yang sensitif, menjadi kunci untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat. Aparat kepolisian diharapkan dapat memberikan pembaruan informasi secara berkala, bahkan jika itu hanya berupa progres teknis, untuk menunjukkan bahwa kasus ini tetap menjadi perhatian serius dan bukan sekadar angka dalam statistik.

Pada akhirnya, tragedi mushola Ponpes Al Khoziny adalah luka bagi bangsa, dan keadilan adalah satu-satunya obat yang dapat sedikit mengobati duka. Seluruh mata kini tertuju pada Polda Jatim, menanti pengumuman penting yang tidak hanya mengungkap penyebab keruntuhan, tetapi juga menetapkan siapa yang harus bertanggung jawab secara pidana. Hanya dengan demikian, keadilan bagi 63 santri yang meninggal dunia dapat ditegakkan, dan pelajaran berharga dapat diambil untuk mencegah terulangnya bencana serupa di masa mendatang.

[uci/beq]

Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita

Sumber: rakyatindependen.id

Exit mobile version