Probolinggo, Rakyatindependen.id – Dunia kembali diguncang oleh kasus pencabulan anak di bawah umur yang melibatkan seorang figur seharusnya menjadi pelindung, yakni paman kandung sekaligus aparatur sipil negara (ASN). Insiden memilukan ini menimpa seorang keponakan perempuan di bawah umur yang menjadi korban kebejatan pamannya sendiri, berinisial B (39), seorang ASN asal Kota Pasuruan. Aksi bejat ini diduga kuat terjadi berulang kali di kediaman pelaku di Kota Probolinggo, menyisakan luka mendalam dan trauma psikologis yang tak terhingga bagi korban. Kasus ini tidak hanya menyoroti kerentanan anak-anak terhadap predator di lingkungan terdekat, tetapi juga menguak lapisan gelap pengkhianatan kepercayaan yang dilakukan oleh seorang pejabat publik.
Kejadian ini terungkap setelah orang tua korban, dengan naluri yang kuat, mulai mencurigai adanya perubahan signifikan pada perilaku dan kondisi sang anak. Anak yang sebelumnya ceria dan aktif, tiba-tiba menunjukkan tanda-tanda kecemasan, ketakutan, atau perubahan suasana hati yang drastis. Perubahan sikap ini menjadi alarm penting bagi orang tua untuk mendalami apa yang sebenarnya terjadi. Setelah didesak dengan penuh kehati-hatian dan kasih sayang, korban akhirnya memberanikan diri untuk membuka tabir gelap yang menyelimutinya, mengakui bahwa dirinya telah menjadi korban pencabulan dan persetubuhan oleh pamannya sendiri. Pengakuan ini sontak mengguncang keluarga dan menjadi titik awal terbongkarnya kejahatan serius ini.
"Awalnya orang tua korban melihat perubahan sikap dan kondisi anaknya. Setelah ditanya, korban mengaku menjadi korban pencabulan dan persetubuhan oleh pamannya sendiri sebanyak tiga kali," demikian penjelasan Iptu Zaenal Arifin, Kasat Reskrim Polres Probolinggo Kota, saat memberikan keterangan resmi di Mapolres. Pernyataan ini menegaskan bahwa kejahatan yang dilakukan B bukan hanya sekali, melainkan telah berulang hingga tiga kali, menunjukkan pola perilaku predator yang sistematis dan meresahkan. Pengakuan korban menjadi bukti utama yang mendorong pihak kepolisian untuk segera bertindak.
Mendapat laporan krusial pada tanggal 19 September 2025, aparat kepolisian dari Polres Probolinggo Kota langsung bergerak cepat. Serangkaian penyelidikan dan penyidikan intensif segera digulirkan untuk mengungkap fakta sebenarnya dan menyeret pelaku ke meja hijau. Langkah awal yang diambil meliputi koordinasi erat dengan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), sebuah unit khusus yang memiliki keahlian dalam menangani kasus-kasus sensitif seperti kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tim PPA memainkan peran vital dalam memberikan dukungan psikologis kepada korban, memastikan proses pemeriksaan dilakukan secara humanis dan tidak menimbulkan trauma tambahan.
Selain itu, visum terhadap korban juga segera dilakukan. Visum et repertum adalah alat bukti medis yang sangat penting dalam kasus kekerasan seksual, berfungsi untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan setiap luka fisik atau tanda-tanda kekerasan yang mungkin dialami korban. Hasil visum ini akan menjadi salah satu pilar utama dalam pembuktian di persidangan. Polisi juga berupaya mengumpulkan dua alat bukti yang sah sesuai hukum acara pidana, yang dapat berupa keterangan saksi, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Kombinasi dari pengakuan korban, hasil visum, dan bukti-bukti lain yang terkumpul, menguatkan dugaan terhadap B. Hasilnya, tersangka B akhirnya ditetapkan sebagai pelaku pada tanggal 28 Oktober 2025, kurang lebih satu bulan setelah laporan diterima. Kecepatan penanganan kasus ini menunjukkan komitmen aparat dalam melindungi anak-anak dari kejahatan seksual.
"Tersangka ini bekerja sebagai ASN di Kota Pasuruan. Hubungannya dengan korban adalah paman kandung. Dari keterangan yang kami peroleh, aksi itu dilakukan sebanyak tiga kali di rumah tersangka di wilayah Kelurahan Kedopok, Kota Probolinggo," jelas Zaenal lebih lanjut. Status tersangka sebagai ASN menambah dimensi ironi dan kekecewaan publik. Seorang abdi negara yang seharusnya menjunjung tinggi moralitas dan menjadi teladan, justru melakukan tindakan amoral yang merusak masa depan seorang anak. Hubungan kekerabatan sebagai paman kandung juga menjadi faktor pemberat, mengingat paman seharusnya menjadi sosok pelindung dan bukan predator. Lokasi kejadian di rumah tersangka sendiri, di wilayah Kelurahan Kedopok, Kota Probolinggo, menunjukkan bahwa pelaku memanfaatkan lingkungan yang seharusnya aman dan nyaman bagi korban sebagai tempat melancarkan aksinya.
Modus operandi yang digunakan tersangka B tergolong klasik namun efektif dalam menjerat korban anak-anak: bujuk rayu, tipu muslihat, dan iming-iming tertentu agar korban menuruti keinginannya. Bujuk rayu seringkali dimulai dengan membangun kedekatan emosional yang manipulatif, menjadikan korban merasa istimewa atau dipercaya. Ini bisa berupa pujian berlebihan, hadiah kecil, atau perhatian yang tidak biasa yang secara bertahap mengikis batasan-batasan normal dalam hubungan keluarga. Tipu muslihat melibatkan penciptaan skenario palsu atau janji-janji yang menggiurkan, seperti akan membelikan sesuatu yang diinginkan korban, memberikan keistimewaan, atau bahkan mengancam akan membocorkan rahasia jika korban tidak menuruti kemauannya. Iming-iming, di sisi lain, seringkali mengeksploitasi kebutuhan atau keinginan anak, baik itu berupa kesenangan, materi, atau janji keamanan palsu. Tujuan akhirnya adalah untuk melumpuhkan daya kritis anak, membangun ketergantungan, dan menciptakan rasa takut atau malu yang mencegah mereka untuk berbicara. Polisi masih terus mendalami apakah tersangka memiliki penyimpangan perilaku seksual yang memerlukan penanganan khusus, guna memahami motif mendalam di balik tindakan keji ini.
Dari tangan tersangka, polisi berhasil menyita sejumlah barang bukti krusial, termasuk telepon genggam milik korban dan tersangka. Barang bukti digital ini seringkali menyimpan jejak komunikasi atau aktivitas yang dapat memperkuat dakwaan. Namun, di tengah proses penyidikan, sempat beredar isu di masyarakat mengenai adanya video asusila yang diduga menampilkan hubungan terlarang antara keduanya. Isu ini dengan tegas dibantah oleh pihak kepolisian. "Belum ditemukan bukti adanya video atau rekaman sebagaimana yang ramai dibicarakan," tegas Kasat Reskrim. Penegasan ini penting untuk mencegah penyebaran informasi palsu yang dapat memperkeruh suasana dan bahkan menimbulkan viktimisasi sekunder terhadap korban.
Atas perbuatannya yang keji, tersangka B dijerat dengan Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Pasal 81 ayat (2) secara spesifik mengatur tentang setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Ancaman pidananya diperberat jika pelakunya adalah orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan. Dalam kasus ini, status B sebagai paman kandung secara otomatis menjadi faktor pemberat. Sementara itu, Pasal 82 ayat (1) mengancam pidana bagi setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D (kekerasan seksual) dengan ancaman penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling banyak Rp 5 miliar. Adanya faktor pemberat seperti hubungan kekerabatan atau status sebagai ASN, memungkinkan hakim untuk menjatuhkan vonis mendekati batas maksimal, bahkan bisa lebih tinggi lagi jika diterapkan pasal-pasal lain atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) yang mengatur pemberatan hukuman bagi predator anak.
Kasus ini menjadi pengingat pahit bagi kita semua akan pentingnya kewaspadaan dan perlindungan terhadap anak-anak. Keluarga, sebagai lingkungan terdekat, seharusnya menjadi benteng terakhir perlindungan, bukan malah menjadi sumber ancaman. Orang tua dan wali perlu terus membangun komunikasi terbuka dengan anak, menciptakan ruang aman di mana anak merasa nyaman untuk berbagi segala pengalaman, baik suka maupun duka, tanpa rasa takut dihakimi. Mengenali tanda-tanda perubahan perilaku pada anak adalah kunci, karena anak-anak seringkali kesulitan untuk mengungkapkan trauma yang mereka alami secara langsung.
Selain itu, peran masyarakat juga sangat vital. Kita tidak boleh menutup mata terhadap indikasi kekerasan atau kejahatan seksual yang terjadi di sekitar kita. Melaporkan setiap dugaan kejahatan kepada pihak berwenang adalah bentuk tanggung jawab sosial kita. Pihak kepolisian, melalui unit PPA, serta lembaga-lembaga perlindungan anak, siap memberikan bantuan dan pendampingan. Kasus seperti ini juga harus mendorong pemerintah untuk terus memperkuat regulasi dan implementasi hukum terkait perlindungan anak, termasuk rehabilitasi bagi korban dan sanksi tegas yang memberikan efek jera bagi pelaku. Harapannya, keadilan dapat ditegakkan bagi korban, dan kasus serupa tidak lagi terjadi di masa mendatang, demi masa depan anak-anak Indonesia yang lebih aman dan terlindungi.
Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id
